Industri ekstraktif memicu bom waktu yang dampaknya akan terasa secara akumulatif. Hadirnya pabrik semen di kawasan karst adalah bahaya laten industri ekstraktif yang menghantui hajat hidup warga yang tinggal di sekitarnya. Tidak hanya ekosistem yang terancam tetapi juga aspek aspek lainnya dari sisi kemasyrakatan yang akan terancam. Sebut saja diantaranya tatanan sosial dan perekonomian. Jika divaluasikan kerugian yang akan diderita warga jika kawasannya ditambang akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertanian.
Kawasan karst memiliki fungsi yang tidak dapat diperbaharui kembali jika sudah ditambang. Potensi kawasan karst sebagai daerah serapan air memiliki peran mengontrol distribusi air yang turun ketika musim hujan sehingga tidak menjadi air larian permukaan dan menjadi cadangan ketika musim kemarau dg mengalirkannya ke mata mata air atau sungai bawah tanah. Batuan gamping pada kawasan karst juga mereduksi gas CO2 di udara, karena setiap proses pelarutan batu gamping (CaCO3) oleh air (H2O) menyerap CO2 dari atmosfir. Secara tidak langsung fungsi kawasan karst juga mengontrol panas bumi di atmosfir.
Pengetahuan seperti ini yang kerap tidak sampai pada warga yang tinggal di kawasan karst. Minimnya informasi tentang kawasan bukan alasan untuk mengambing hitamkan latar belakang pendidikan warga di kawasan karst. Tetapi memang adanya gap informasi antara praktisi, penggiat, peneliti dan masyarakat di kawasan karst tersebut.
Hal ini disadari oleh Aktivis Walhi Jabar dan Masyarakat Speleologi Indonesia (ISS) bahwa masyarakat karst harus diedukasi terutama mengenai potensi kawasan karst tempat mereka tinggal. Ini yang akan menjadi kekuatan mereka untuk dapat melakukan advokasi atas lingkungan mereka sendiri dari kesewenangan industri yang kerapkali terkesan membodohi.
Dihadiri oleh lebih kurang 30 peserta dari perwakilan warga Desa Sirnaresmi, salahsatu desa yang terpapar dampak pendirian pabrik semen SCG di Sukabumi, juga beberapa dari jaringan masyarakat peduli karst citatah, GMNI, jaringan Walhi dan beberapa dari kalangan umum. Kelas tematik speleologi partisipatif yang diselenggarakan atas kerjasama Walhi Jabar dengan Masyarakat Speleologi Indonesia (ISS) mencoba menjembatani dengan mengisi ruang kosong informasi dan gap pengetahuan antara masyarakat, paraktisi, penggiat dan peneliti. Sudah saatnya sekarang masyarakat sendiri yang menjadi peneliti mandiri dan “yang memiliki ilmunya” mendampingi. Demikian cetus presiden Masyarakat Speleologi Indonesia (ISS) Cahyo Rahmadi. Pria yang meraih gelar doktornya di Jepang untuk penelitian biota gua itu melanjutkan bahwa harapan ke depannya kelas-kelas partisipatif serupa akan menumbuhkan kantong-kantong peneliti di kalangan masyarakat sendiri atau citizens science yang nantinya berkontribusi terhadap inventarisasi pendataan kawasan karst secara kolektif (crowdsourcing). Hal ini akan meminimalisir manipulasi data yang selama ini sering dilakukan pada proses pembuatan amdal pertambangan.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Dadan Ramdan mengatakan bahwa ke depannya kelas-kelas serupa akan diselenggarakan sebagai program peningkatan kapasitas SDM baik di jaringan walhi maupun masyarakat yang membutuhkan. Kegiatan kali ini pun sengaja membatasi jumlah peserta dikarenakan keterbatasan fasilitas dan beberapa faktor teknis lainnya. Kegiatan ini dilakukan swadaya, dan diberikan untuk masyarakat sebagai bentuk kepedulian kami sebagai bagian dari masyarakat speleologi indonesia yang juga ingin memperjuangkan lingkungan terutama kawasan karst walaupun tidak di garis depan.
Kelas tematik speleologi partisipatif ini melibatkan peserta sebagai kontributor data dalam menginventarisasi potensi kawasan karst. Mengusung judul introduksi speleologi & karstologi, inventarisasi data kawasan karst berbasis android dan GIS, serta pengenalan ekosistem karst dan keanekargaman hayati untuk masyarakat. Sebuah langkah kecil untuk memulai perlindungan kawasan karst dengan cara memberdayakan masyarakat. (Alex Atmadikara)
[AFG_gallery id=’2′]