Oleh: Ridwan Pambudi (Karst Progressive)

Namanya Atang. Sembari membersihkan pakaiannya yang penuh debu dan serpihan batu, ia tak mampu menahan senyum yang merekah di wajahnya. Rasa senang bukan kepalang terpancar jelas di wajahnya setelah menunaikan pekerjaannya mengangkut bongkahan batugamping ke dalam truk. Belum sempat membenahi topinya yang miring ke kiri, ia sudah berlari mengejar truk yang baru saja menurunkannya di pinggir jalan berbatu. Rupanya, ia hendak membantu mengangkat bongkahan batugamping seukuran tabung CPU yang tergeletak di tepi jalan ke dalam truk itu.
Atang hanyalah satu dari sekian banyak warga Desa X, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang bergantung pada tambang rakyat (Foto 1). Bagi orang luar, melihat masyarakat merusak lingkungan tempat tinggalnya sendiri bisa jadi membingungkan. “Mengapa mereka melakukan tindakan ini? Bukankah mereka juga yang pertama merasakan dampaknya?”. Pertanyaan semacam itu wajar mengemuka. Terlebih jika mengingat ancaman lain yang mereka hadapi berupa eksploitasi besar-besaran oleh korporasi semen yang telah menambang karst di sekitar mereka sejak tahun 1970-an—yang jauh lebih dahsyat kerusakannya.
Bahkan bagi saya—seseorang yang merasa peduli pada kelestarian karst Klapanunggal tapi kurang memahami konteks sosial, ekonomi, dan budayanya—mempertimbangkan situasi yang terakhir disebutkan, hal tersebut kerap memunculkan pertanyaan “Mengapa tidak melawan?” dan memantik prasangka negatif yang diam-diam mengendap dalam pikiran. Kendati tidak secara langsung menjawab semua pertanyaan dan prasangka yang ada, percakapan saya dengan Atang, Aang, Cecep, dan Deden membuka perspektif yang selama ini luput dari pemahaman saya.
Dalam Pusaran Ketidakberdayaan dan Keputusasaan
Beberapa jam berbincang dengan mereka, saya mulai memahami bahwa kehidupan para penambang ini diwarnai perasaan tak berdaya dan frustasi. Dalam sistem ekonomi kapitalis yang mereka hadapi, sebagaimana dijelaskan Marx (1867) dalam “Das Kapital”, tenaga kerja harus dikomodifikasi untuk mendapatkan upah demi bisa bertahan hidup. Namun, bagi mereka, kesempatan itu justru sangat terbatas.
Aang menganggap latar belakang pendidikan yang rendah sebagai penghambat utama, sementara Atang menyalahkan usianya yang sudah melampaui batas maksimal untuk bekerja di sektor formal. Cecep, yang saya temui sedang duduk menanti truk pengangkut batugamping, mengungkapkan perasaannya dengan getir, “Pendidikan saya tidak ada, ke pabrik untuk bekerja juga tidak bisa. Kita harus bagaimana mencari nafkah untuk anak-istri?”
Sementara mereka tak dapat bekerja di sektor formal, sektor pertanian yang umumnya menjadi tumpuan masyarakat desa, juga tidak memberi harapan. Minimnya kepemilikan lahan, keterbatasan modal, serta risiko gagal panen yang tinggi membuat pertanian tak lagi menjanjikan. Cecep pun menambahkan dengan nada pesimistis, “Untuk segala kebutuhan, dari beras sampai yang lain, semuanya harus dibeli. Biaya hidup tidak mungkin tercukupi hanya dengan bertani.”
Apapun Dilakukan untuk Bertahan Hidup
Dihadapkan dengan kenyataan hidup yang pelik, Atang terpaksa harus mengadopsi pandangan pragmatis. “Apapun pekerjaannya, yang penting saya dapat penghasilan”, katanya. Tidak hanya bagi Atang, pemikiran ini juga banyak dianut oleh masyarakat setempat. Sebagai konsekuensinya, alih-alih memandang bukit-bukit karst beserta berbagai spesies yang hidup di dalamnya sebagai entitas yang setara dengan manusia, sehingga layak untuk dihormati dan dijaga eksistensinya, mereka hanya memandangnya sebagai sumber penghasilan semata.
Meski begitu, bukan berarti mereka tak mengalami konflik batin. Atang awalnya tampak biasa saja dengan pekerjaannya, tetapi dalam percakapan lebih lanjut, ia menunjukkan dilema yang mengusik hatinya. Ia dengan nada seperti hilang harapan mengatakan, “Saya menyadari ada kerusakan, tapi [saya tetap melakukan] karena butuh.” Deden juga merasakan hal serupa. Ketika saya bertanya bagaimana perasaannya terhadap pertambangan yang berpotensi merusak lingkungan (Foto 2), ia menjawab dengan nada pilu, “Dibilang sayang, ya sayang sama lingkungan. Dibilang kebutuhan, sudah kebutuhannya sehari-hari. Pendidikan kami tidak ada, sementara hasilnya dari [pertambangan] ini. Ya bingung.”

Jalan Hidup yang Diwariskan dan Kepercayaan Lokal
Percakapan panjang dengan para penambang menuntun saya untuk mengetahui faktor lain di balik keterlibatan mereka dalam aktivitas ekstraktif ini, yakni ‘tradisi’ dan ‘kepercayaan lokal’. Aang menuturkan bahwa pertambangan rakyat di kampungnya sudah berlangsung sejak tahun 1984 dan dilakukan secara turun-temurun. “Memang seperti itu dari dulu,” tandasnya. Bagi mereka, menambang bukan sekadar pekerjaan, melainkan bagian dari cara hidup yang diwariskan. Alhasil, hal ini dijadikan landasan ketika berinteraksi dengan alam. Deden misalnya, Ia menemukan pembenaran terhadap dilema yang dirasakan dengan melihat aktivitas pertambangan ini sebagai tindakan mengikuti jejak orang tuanya. Ia mengatakan “Kalau dibilang sayang, ya pasti sayanglah kalau [ditambang] seperti ini [karstnya]. Cuma apa boleh buat. Kami mengikuti orang tua saja seperti dulu.”
Lebih jauh lagi, ada mitos yang memperkuat legitimasi mereka untuk melakukan aktivitas pertambangan. Aang menjelaskan bahwa masyarakat percaya akan keberadaan roh leluhur yang merestui aktivitas mereka. “Kalau gunung ini tidak menerima kami dengan baik, sudah pasti usaha kami tumbang lebih dulu. Ini entah mitos atau fakta, tapi memang seperti itu”, jelasnya.
Paradoksnya, mitos yang diutarakan oleh Aang bertolak belakang dengan nilai-nilai masyarakat Sunda yang masih memegang erat budayanya. Sebagaimana dijelaskan Indrawardana (2012) dalam “Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda dalam Hubungan dengan Lingkungan Alam”, masyarakat Sunda memandang diri mereka sebagai bagian dari alam—bukan penguasanya—sehingga alam harus dihormati dan dijaga, bukan ditundukkan untuk dieksploitasi. Oleh karena itu, pergeseran pandangan hidup yang melibatkan mitos tradisional di Klapanunggal ini lebih tepat dipahami melalui argumentasi Filer & Macintyre (2006) dalam “Grass Roots and Deep Holes: Community Responses to Mining in Melanesia”, bahwa kepercayaan tradisional seringkali diinterpretasikan ulang dalam konteks gagasan kontemporer—dalam hal ini, pertambangan—yang pada dasarnya hanya mencerminkan harapan materiil dari individu-individu tertentu yang terlibat dalam aktivitas pertambangan.
Keterasingan Manusia dari Alam
Pemahaman yang dibangun atas pandangan Filer & Macintyre (2006) tersebut mendorong saya untuk meninjau ulang perasaan dilema yang dialami para penambang, guna memahami fenomena ini secara mendalam. Perspektif Meszaros (1970) dalam “Marx’s Theory of Alienation” menawarkan landasan dalam menyingkap hal ini. Di tengah tekanan memenuhi kebutuhan hidup yang mereka alami, para penambang di Klapanunggal pada dasarnya mengalami keterasingan dari alam yang dimediasi melalui pekerjaan yang memaksa mereka bertindak bertentangan dengan kodratnya sebagai manusia.
Dalam hal ini, pemikiran Marx (1932) dalam “Economic & Philosophic Manuscripts of 1844” memberikan penjelasan lebih lanjut, bahwa manusia ketika terlibat dalam berbagai aktivitas idealnya sesuai hasrat dan keinginannya tanpa paksaan, termasuk menjalani kehidupan yang menjaga harmoni dengan alam. Namun demikian, dalam realitas kapitalisme yang mereka hadapi di Klapanunggal—di mana pertanian subsisten tak lagi mencukupi kebutuhan hidup sementara peluang kerja non-ekstraktif sangatlah terbatas—pada akhirnya, mereka terpaksa mengorbankan kebebasan tersebut dan turut mengeksploitasi lingkungan sekitarnya.
Lebih lanjut, ketika pemahaman tentang keterasingan manusia dari alam dihubungkan dengan pandangan masyarakat Klapanunggal—bahwa pertambangan batugamping merupakan jalan hidup yang diwariskan dan direstui oleh para leluhur—tampak bahwa keterasingan ini tidak semata-mata disebabkan oleh tekanan kondisi ekonomi. Selain itu, fenomena ini juga telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Merujuk pandangan Ryzhikov (1992) dalam “Nature and Man: Psychological Problems of Alienation”, keterasingan manusia dari alam muncul akibat adanya ‘faktor eksternal’, yaitu pandangan hidup dari dunia luar yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat Klapanunggal. Pengaruh eksternal ini secara perlahan menggeser cara memandang relasi mereka dengan alam. Akibatnya, bentang alam karst di sekitar mereka tidak lagi dihargai berdasarkan nilai intrinsiknya, melainkan dipandang semata-mata sebagai sumber material yang layak untuk terus-menerus dieksploitasi.
Penutup
Perbincangan panjang dengan para penambang batugamping di Klapanunggal ini menyadarkan saya betapa tidak adilnya saya menilai mereka secara parsial, tanpa pernah mencoba untuk mengetahui apa yang sebenarnya mereka alami. Kendati tindakan menambang batugamping yang mereka lakukan memang tidak dapat dibenarkan, tindakan eksploitatif ini sebenarnya bukan seutuhnya kemauan mereka, melainkan akibat dari keterasingan mereka dari alam, yang didorong oleh tekanan ekonomi serta norma sosial dan budaya yang mengakar kuat.
Memutus rantai keterasingan dari alam yang mereka hadapi saat ini tentu bukanlah upaya yang mudah. Intervensi secara sistemik dari unsur pemerintah dan masyarakat umum sangat diperlukan. Kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada masyarakat Klapanunggal seperti penyediaan lapangan pekerjaan dan pelatihan kerja untuk pekerjaan yang lebih ramah lingkungan barangkali dapat menjadi langkah awal perubahan. Bersamaan dengan hal ini, penguatan wawasan budaya lokal yang berkaitan dengan relasi manusia dan alam non-manusia juga perlu digalakan. Selain itu, pendampingan untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan-lahan kecil yang masyarakat miliki untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga perlu dilakukan. Dengan upaya-upaya ini, mungkin suatu hari nanti, Atang, Aang, Cecep, Deden, dan masyarakat penambang lainnya bisa mewujudkan rekonsiliasi dengan alam yang selama ini mereka eksploitasi.