Oleh: Ridwan Pambudi (Karst Progressive)
Ketika mendengar kata “tambang” adalah hal yang wajar apabila pikiran kita lekas mengasosiasikan kata tersebut dengan kerusakan alam. Namun, hal ini tidak sepenuhnya berlaku bagi para penambang batugamping rakyat yang saya temui di Klapanunggal. Meski merasakan dan menyaksikan secara langsung memburuknya kondisi lingkungan akibat aktivitas tambang, mereka tidak serta-merta memaknai perubahan tersebut sebagai sebuah kerusakan.
Merasakan namun Menghindari dan Menormalisasi
Bagi Aang, yang sejak kecil hidup di sekitar bukit-bukit karst Klapanunggal, perubahan lingkungan yang paling nyata akibat pertambangan batugamping – yang Ia dan rekan-rekannya lakukan – adalah meningkatnya suhu udara akibat hilangnya pepohonan. Mengamini pendapat Aang, Cecep mengungkapkan bahwa kondisi fisik lingkungan pada masa lalu lebih sejuk daripada saat ini. Sementara itu, Deden menyoroti hilangnya lanskap hijau dan kerusakan yang semakin cepat akibat penggunaan alat berat (gambar 1). Ia berujar, “Dulu itu indah, jauh lebih indah dari sekarang… Sekarang, dengan alat berat, gunung-gunung jadi lebih cepat habis.”

Namun, ketika percakapan mulai menyentuh dampak lingkungan yang lebih luas — seperti penurunan debit air tanah dan keanekaragaman hayati — para penambang justru berusaha mengalihkan arah pembicaraan. Cecep, misalnya, mengatakan, “Kalau soal kondisi lingkungan, saya tidak tahu.” Tak lama, ia menambahkan, “Tapi kalau ada kegiatan di kampung, alhamdulillah, kami bisa beli air untuk keperluan itu.” Serupa dengan Cecep, Aang mula-mula merendah dengan mengatakan, “Menurut kami orang awam…” lalu cepat menegaskan, “…Kami tidak merasa ada dampak lain yang berarti. Malah masyarakat jadi terbantu.”
Selain mengalihkan topik, para penambang juga menormalisasi dampak lingkungan yang mereka sadari dan alami. Aang, contohnya, semula menyoroti kenaikan suhu akibat hilangnya pepohonan, tetapi kemudian berkata, “Daerah Klapanunggal memang panas, dan orang-orang di sini sudah terbiasa dengan kondisi itu.” Dengan demikian, panas tidak lagi dipandang sebagai akibat tambang, melainkan kondisi alamiah yang wajar.
Normalisasi juga tampak pada tanggapan Atang dan Deden terkait kebisingan. Atang menilai kondisi sekarang lebih dapat diterima dibanding masa lalu. Ia berujar, “…Dulu kan pakai peledak, suaranya berisik sekali. Sekarang cuma berisik siang hari, [sementara] malam sudah tenang.” Sementara Deden, dengan nada pasrah, menyatakan, “Kalau pakai alat berat, ya pasti berisik. Apa boleh buat, memang begitu adanya.”
Menggali makna di balik ungkapan para penambang ibarat mengupas bawang merah. Lapisan demi lapisan harus dikupas dengan cermat untuk menemukan arti yang tersembunyi. Dari pencermatan ini, saya menyadari bahwa pengakuan “ketidaktahuan” yang bergeser menjadi pujian atas manfaat ekonomi bukanlah semata karena keterbatasan pengetahuan. Demikian pula, normalisasi dampak lingkungan yang tampak seperti hasil dari proses adaptasi.
Melalui kacamata Carr & Milstein (2021) dalam See Nothing but Beauty, kedua upaya ini tak ubahnya merupakan cara untuk mempertahankan “ruang tak kasat mata” dengan menghindari pembicaraan soal kerusakan alam dan meredam sorotan pada isu ekologis guna melindungi diri dari krisis eksistensial maupun rasa bersalah mengeksploitasi alam non-manusia1. Dengan begitu, para penambang dapat terus melanjutkan praktik eksploitatif untuk terus memperoleh sumber penghidupan.
Menyadari namun Tak Peduli
Meski sering mengalihkan dan menormalisasi, pada beberapa kesempatan para penambang juga mengakui kerusakan yang mereka ciptakan. Aang, misalnya, dengan berani mengatakan, “Bohong kalau masyarakat [penambang] bilang tidak sadar kalau kita merusak alam.” Namun, pengakuan itu tidak lantas membuatnya memandang kerusakan sebagai masalah serius. Sebaliknya, kerusakan akibat tambang rakyat justru dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan perusahaan di sekitar tempat tinggalnya, yang dianggap jauh lebih parah.
Pandangan bahwa kerusakan akibat tambang rakyat relatif tidak signifikan membawa saya pada pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana mereka memaknai alam. Dalam banyak pernyataan, alam non-manusia tidak dipandang memiliki nilai intrinsik2. Bagi para penambang, alam semata-mata dinilai sebagai sumber daya material untuk menunjang kelangsungan hidup. Atang, misalnya, menegaskan, “Bukit kapur itu sumber penghasilan.” Cecep bahkan lebih ekstrem dengan mengatakan, “Buat saya, bukit itu tidak ada harganya—tidak ada gunanya.” Senada dengan itu, Aang menggambarkan bukit karst sebagai “tanah tidur,” yang tanpa intervensi manusia dianggap tidak memiliki nilai sama sekali.
Dengan perspektif semacam ini, eksploitasi dipandang masuk akal, bahkan dinilai positif, karena diyakini mampu menciptakan nilai dan fungsi dari alam yang semula tak bernilai menjadi lebih “produktif.” Aang mencontohkannya dengan logika pasca-tambang yang ia pegang (gambar 2). Ia mengatakan “Jadi anggapannya begini, alam rusak, gunung hancur, tapi itu kan dari satu sisi saja. … Setelah dieksploitasi, digali, diratakan, lahan itu jadi produktif untuk pertanian, jadi tempat menanam pohon yang bisa menghasilkan uang.”

Sikap serupa juga tampak pada Atang yang menilai perataan lahan sebagai hal terpenting. Ia berkata, “Kalau bicara soal mengubah alam, buat saya yang penting itu diratakan,” sebab lahan semacam itu baginya “…bisa dibuat rumah atau pabrik….” Deden pun membenarkan logika ini dengan keyakinan bahwa tanah buangan dapat memberi manfaat baru. Ia berujar, “Ya benar, toh padi tidak akan tumbuh di atas lapisan batu saja. Jadi kalau tanah buangan kita ratakan, bisa ditanami padi atau pisang.” Bagi mereka, selama lahan pascatambang dapat diubah menjadi sesuatu yang berguna bagi manusia, kerugian yang dialami entitas non-manusia tidak dipandang sebagai masalah.
Bagi Hailwood (2012) dalam “Alienations and Natures”, logika seperti ini mencerminkan bentuk keterasingan manusia dari alam. Bukan semata karena tekanan ekonomi atau pengaruh eksternal yang menggeser cara pandang mereka, melainkan karena keterlibatan berulang dalam praktik sosial yang mendominasi alam. Keterlibatan semacam ini lambat laun mengikis keterhubungan ekologis manusia dengan lingkungannya. Dengan demikian, sebagaimana diungkapkan Dickens (1997) dalam “Local Environments, the Division of Labour and Alienation from Nature”, manusia pada akhirnya kehilangan pemahaman memadai tentang bagaimana seharusnya berinteraksi dengan alam non-manusia.
Dominasi terhadap Alam dan Ruang Tak Kasat Mata dalam Keseharian Kita
Pada bagian akhir ini, jika tulisan ini terasa menyudutkan para penambang batugamping rakyat di Klapanunggal, saya ingin menyampaikan bahwa sejak awal niat saya bukanlah untuk menghakimi mereka. Saya hanya berusaha berbagi pembacaan tentang bagaimana mereka memandang dampak lingkungan dari pekerjaan yang menjadi sumber penghidupan, namun pada saat yang sama juga merusak ruang hidup mereka. Lagipula, sebagaimana telah saya ulas dalam tulisan sebelumnya, dalam kondisi terjebak sistem ekonomi kapitalis—tanpa lahan, modal, dan pendidikan yang memadai—tambang menjadi satu-satunya jalan bagi mereka untuk menyambung kehidupan.
Dari percakapan dengan para penambang, saya justru tersadar bahwa persoalan ini jauh lebih luas daripada sekadar isu lokal di Klapanunggal. Kita semua hidup dalam masyarakat yang sejak lama dibentuk oleh konstruksi sosial bahwa mendominasi atau mengeksploitasi alam non-manusia dianggap sebagai hal yang wajar. Oleh karenanya, jika kita mau jujur dan berbesar hati, bukankah kita juga mendominasi alam non-manusia dan menciptakan “ruang tak kasat mata” seperti halnya para penambang batugamping dalam berbagai pilihan hidup kita sehari-hari?
Kita menyalakan pendingin ruangan yang ditopang energi batubara, membeli barang hanya karena keinginan alih-alih kebutuhan, atau lebih memilih kendaraan pribadi daripada transportasi publik, meski jelas lebih banyak menghasilkan emisi karbon (CO₂). Semua itu kita lakukan, sering kali, tanpa memikirkan dampaknya bagi alam non-manusia. Bedanya, jika para penambang mendominasi alam non-manusia dan menciptakan “ruang tak kasat mata” untuk bertahan hidup, kita justru kerap melakukannya demi menjaga kenyamanan dan gaya hidup.
- Keseluruhan dunia alam dan komponen-komponennya yang bukan manusia, termasuk tumbuhan, hewan, sungai, hutan, dan bahkan unsur-unsur anorganik. ↩︎
- Nilai yang melekat pada alam dan tidak bergantung pada nilai yang diberikan manusia berdasarkan manfaat atau kegunaannya bagi manusia. Artinya, alam (seperti hutan, sungai, gunung, atau satwa liar) dianggap memiliki nilai karena keberadaannya, bukan hanya karena ia bisa memberikan sumber daya, jasa ekosistem, atau keuntungan ekonomi. ↩︎



