Ringkasan SpeleoTalks Karst Kabupaten Banggai Kepulauan Sesi 1

Resume oleh Mirza Ahmad H.

Pada hari Sabtu, 20 Juni 2020, berlangsung SpeleoTalks seri ke-6 yang mengangkat tema “Karst Banggai Kepulauan”. Melalui tema ini terbahas berbagai kegiatan survei, eksplorasi, maupun ekspedisi yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga di bentang alam Karst Banggai Kepulauan yang kemudian terhubungkan dengan ihwal rencana penataan dan pengelolaan karst di Banggai Kepulauan. Pengetahuan dan informasi yang akan disampaikan oleh para pemantik diskusi sedikit banyak dapat menjadi bahan pembelajaran atau bahkan role model bagi para pegiat speleologi dan pemerhati karst di daerah lain di Indonesia, sekaligus penyadartahuan kepada masyarakat umum mengenai peran penting keberadaan ekosistem karst.

Di awal acara, Mas Imron mengumumkan tata tertib yang harus dipatuhi oleh seluruh peserta. Disampaikan pula informasi mengenai giveaway berupa masker bagi lima peserta terpilih yang foto kegiatan speleotalks di twitter dan instagramnya dipilih oleh panitia. 

Enam pemantik diskusi pada SpeleoTalks seri-6 ini—yang terbagi ke dalam dua sesi—yaitu Mas Andy Setiabudi Wibowo (ASC Jogja), Pak Langgeng Wahyu Santosa (Geografi Univ. Gadjah Mada), dan Mas M. Iqbal Willyanto (ISS) di sesi pertama dan kemudian dilanjutkan oleh Pak Asep Sugiharta (KLHK), Pak Edy Nugroho (KLHK), serta Pak Ferdy Salamat (Dinas Lingkungan Hidup Kab. Banggai Kepulauan) pada sesi kedua. 

Karst Banggai Kepulauan yang dipenuhi bentang alam karst yang indah dan unik mulai tergambarkan melalui paparan Mas Andy ASC yang tampil sebagai pemantik diskusi di kesempatan pertama. Mas Andy adalah seorang geologist dan penelusur gua yang sudah mengelana dan riset ke banyak kawasan karst sehingga cukup banyak pengalamannya yang dapat dibagikan dalam forum SpeleoTalks ini. Ia menyampaikan paparan pemantik diskusi dengan fokus pada tinjauan Geologi dan Spelologi Karst Banggai Kepulauan. 

Ceritanya dimulai dengan pengenalan lokasi. Secara administrasi, Banggai Kepulauan masuk ke dalam Provinsi Sulawesi Tengah (2.448,79 km2). Lalu pada kondisi umum Banggai Kepulauan. Menurut Mas Andy, Banggai Kepulauan adalah mandala bagi Banggai Sula yang sesungguhnya adalah fragmen benua yang berasal dari batas utara benua Australia dan terpisah di masa akhir mesozoikum. 

Kemudian Mas Andy memberi penjelasan hasil tinjauan inventarisasi perkembangan karst kabupaten Banggai Kepulauan yang pernah dilakukannya. Kegiatan tersebut merupakan kerja kolaboratif dari berbagai lembaga, yaitu: KLHK, ASC, Pemkab Banggai Kepulauan, dan ISS. Sebelumnya, cerita Mas Andy, dia kebetulan sedang riset di Sulawesi kemudian mendapat telepon dari Mas Cahyo dan diajak untuk bergabung dengan tim yang sedang penelitian di Banggai Kepulauan. Kebetulan Mas Andy menyambut ajakan tersebut karena kebetulan belum pernah eksplorasi daerah Banggai Kepulauan. 

Menurut Mas Andy, karst di Banggai Kepulauan menempati 85% dari seluruh luas total daratan Kab. Banggai Kepulauan. Di sana, penampang gamping menumpang pada permearable (granit, metamorf, lempung, dan lainnya yang menjadi cukup ideal bagi perkembangan karst apalagi melihat ketebalannya yang hingga mencapai 900 mdpl. Informasi tersebut, menueurt Mas Andy, tentu menarik bagi penelusur gua untuk mencari gua-gua yang tersebar. Formasi Peleng berupa batu gamping terumbu putih kecoklatan dengan sisipan napal, koral, dan cangkang molusca.

Menurut paparan Mas Andy, Formasi Peleng berumur Kuarter; tersusun dari batugamping terumbu, warna dominan putih dan kecoklatan, dengan sisipan napal, batu gamping konglomeratan, dengan fragmen terdiri dari batu gamping, koral, dan cangkang molusca. Adapun Formasi Salodik berumur Eosen. Berwarna putih sampai putih kecoklatan, kalkarenit, batu gamping koral mengandung fosil, napal kekuningan, sampai kecoklatan, berlapis dan agak keras, … berperan penting dalam karstifikasi; bisa menjadi penghambat terjadinya gua bisa pula menjadi alas perkembangan gua yang bergantung pada kondisi spesifik.

Hasil inventarisasi 2017, selama 10 hari: 17 gua, 7 danau karst, dan 112 mata air karst yang menyebar di sebelah timur, tengah, maupun barat. Keterbatasan waktu membuat tim sekadar mendatangi seluruh lokasi untuk membuat tinjauan umum. Melalui lokasi-lokasi pilihan terbaca peluang terdapatnya sebaran yang lebih banyak lagi jika dilakukan kegiatan lanjutan yang menyeluruh. Terdapat gua-gua vertikal maupun horizontal. Umumnya gua berair, sungai bawah tanah, atau danau gua. Gua Jepang menjadi gua dengan lorong terpanjang dari semua gua yang terdata oleh tim. Pada saat musim penghujan gua menjadi sungai bawah tanah, dan di saat kemarau lorong relatif kering dengan beberapa static pool. Gua Lolong, entrance berupa resurgence yang dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sumber air. Gua Bo’ okon, vertikal membentuk air terjun dan menjadi sungai di bawah tanah. Ada pula gua lainnya yang berupa lorong vertikal tetapi tidak harus menggunakan SRT dalam penelusurannya, dengan teknik tertentu.

Danau Karst, fenomena unik dan menarik di Banggai Kepulauan. Ada danau yang memiliki waktu pasang dan surut. Mas Andy menceritakan betapa dirinya menjadi bertambah terarik untuk meneliti lebih dalam saat mengetahui terdapatnya jejak sungai yang terlihat di saat surut, sebentuk sungai dengan stadium tua dan membentuk danau-danau tapal kuda. Hal tersebut menarik untuk diteliti lebih jauh. Berangkat dari fenomena dan analisis temuan lapangan Mas Andy mendaftar beberapa kemungkinan proses terbentuknya danau: apakah karena faktor tektonik, apakah ada hubungannya dengan litologi, apakah karena iklim, apakah karena ketiga faktor tersebut? Ataukah karena sebab lainnya? Dulunya area tersebut bukan danau tetapi berubah menjadi danau. Lalu bagaimana hal itu, perubahan sungai menjadi danau itu, dapat terjadi? 

Menurut Mas Andy, sudah sepatutnya fenomena jejak sungai pada area danau juga dapat menarik dari sudut arkeologi, misalnya melalui pertanyaan apakah ada kehidupan sebelum area sungai berubah menjadi danau? Terkait danau karst, di sana, jumlahnya bukan hanya satu danau karst. Danau karst berada di sebelah timur maupun sebelah barat.  Selain danau, gua, mata air, juga ditemukan ceruk-ceruk. Morfologi positif yang umum terlihat di Gn. Kidul juga hadir di Banggai Kepulauan: bukit-bukit karst, dan kerucut (conehill), banyak sekali. 

Di akhir paparannya, Mas Andy membuat ringkasan informasi bahwa (1) perkembangan karst di Kab. Banggai Kepulauan berkembang sangat baik, (2) keberlangsungan kehidupan di Banggai Kepulauan tidak bisa dipisahkan dengan ekosistem karst. (3) Eksokarst dan endokarst di sana berkembang secara selaras. Namun perlu juga digarisbawahi, bahwa perkembangan yang tidak selaras pun perlu diperhatikan. Banyaknya pengalaman Mas Andy mendatangi kawasan karst di Indonesia, menjadi dasar penilaian bahwa banyak ditemukan kondisi eksokarst tidak mencirikan karst yang berkembang dengan jelas dan umum tetapi pada wilayah endokarst ternyata berkembang sangat baik, misalnya ditandai dengan adanya gua-gua berlorong panjang dan sumuran dalam. 

Karst di Peleng tidak ada pengaruh dari aliran air sekitar yang batuannya non-gamping karena semuanya karst. Ilustrasi lain terlihat di Bukit Barisan yang memiliki karakter berbeda. Di sana gamping dikelilingi batuan non-gamping. Di Maros juga dapat terlihat, betapa kawasan karst banyak menerima aliran air non-gamping. Ke depan perlu disediakan waktu khusus untuk pembicaraan mengenai hal ini. Menurut Mas Andy masih perlu dilakukan riset multidisiplin ilmu yang mendalam, di dalam dasar pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan.    

Moderator menyoroti bagian akhir rekomendasi yang disampaikan Mas Andy, benar adanya bahwa memang perlu kehati-hatian dalam menilai karst. Karakter karst sangat berbeda: Banggai Kepulauan pulau karst, dan sangat bergantung pada air meteorit. Masyarakat Banggai Kepulauan tidak dapat lepas dari interaksi dengan kawasan karst.

Pemantik diskusi berikutnya adalah Pak Langgeng Wahyu (Fak. Geografi UGM), yang pemaparannya berfokus pada tinjauan Geografi. Dan semua berprinsip pembangunan berkelanjutan. Pertanyaan-pertanyaan terkait “Bagaimana hidrologinya, bagaimana geografinya… bagaimana implementasi yang berprinsip pembangunan berkelanjutan?” didiskusikan oleh Pak Langgeng.

Apa yang dibaginya kepada forum adalah oleh-oleh hasil penelitian. Beliau, telah sejak 2012 mendampingi penelitian-penelitian di Banggai Kepulauan. Kemudian pada 2013, beliau dan tim menginventarisasi mata air di Banggai Kepulauan. Tim menemukan 39 mata air potensial—dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber pemenuhan air bersih. Banggai Kepulauan, Pulau terumbu/gamping. Dua formasi: Peling dan Salodik. Batuan induk: Granit Banggai dan metamorfik yang telah mengalami pelarutan tindak lanjut, Malihan yang sudah mengalami pelapukan lanjut, granit banggai di Peling timur. Posisi kejepit. Tai Chi jangan-jangan dari banggai bukan dari China. Dihantam patahan Sorong, akibatnya struktur patah-patah (utara selatan) terkait dengan sebaran mata air, berasosiasi dengan struktur; arah patahan menunjukkan hal selaras dengan tektoniknya; terumbu (Peling) dan napal (Salodik). Karst Banggai Kepulauan masih muda, masih Kuarter; Salodiknya Tertier, Miosen bawah menurut informasi peta esdm. Dua batuan induk utama: malihan … dilihat banyak titik potensial longsor. Granit Banggai, di peling timur, sedikit distribusinya. Sebaiknya tidak ditambang.

Terkait dengan hidrologi mata air, Pak Langgeng menyampaikan. Terdapat  tiga hal yang dipaparkan: 1. Karakteristik dan potensi mata air genesis dan tipologi mata air, daerah tangkapan dan kondisi tutupan lahan. 2. Kearifan budaya masyarakat. Pemanfaatan air untuk kehidupan sehari-hari dan pengelolaannya. 3. Rekomendasi perlindungan dan Pengelolaan mata air sebagai pondasi perlindungan.

Konsentrasi permukiman ditentukan dengan topografi dan kemunculan sumber mata air. Banyaknya di wilayah pesisir. Tim saat itu menemukan 39 mata air dan sebagian besar dipengaruhi oleh struktur patahan dan pemotongan topografi sehingga timbul celah/rekahan. Informasi ini penting karena terkait dengan sosial budaya masyarakat. Beberapa tipologi mata air yang ditemukan: mata air percelahan (diffuse atau Fissure) topografik (19 mata air/47%) , mata air lorong (conduit) (6 mata air /14%), mata air kontak dan sesar (7 mata air /19%), mata air selobar (asin) (4 mata air /11%), mata air dolinee dan reservoir (3 mata air /8%). 

Salah satu temuan mata air menarik yang diceritakan yaitu Mata air Batangono. Air menyebur dari gua vertikal dan dibendung serta mengalir ke semua rumah penduduk, fenomena menarik yang oleh Pak Langgeng disebut mata air artesis. Mata air Lalanday dengan debit besar dan dekat dengan laut. Mata air tersebut pernah dimanfaatkan untuk PDAM tetapi berhenti karena masalah teknis. Mata air danau Lemelu yang juga terdapat gua-gua di sekitarnya. Di sata musim kemarau danau surut dan tercipta pemandangan indah yang potensial untuk pariwisata. Lokasinya sangat eksotis. [bisa membuat mikrohidro tetapi lemah dalam hal merawatnya], Mata air Lukpanenteng, danau payau yang indah dan cocok untuk ekowisata, UGM menggelar KKN tematik di lokasi tersebut. Juga mata air danau Tendetung yang unik. Bagaimana proses pengisian air ke dalamnya? Apakah terjadi sebagaimana sistem estavelle

Kemudian pembicaraan menyinggung daerah tangkapan mata air. Menurutnya, di sana umumnya tidak terlalu luas secara permukaan, tetapi bawah permukaan gua-guanya juga jarang yang memiliki lorong panjang hingga berkilo-kilo. Pak Langgeng menandai area mata air dan membuat tinjauan pola penggunaan air. Mata air muncul di lekuk perbukitan. Masyarakat sangat bergantung pada ketersediaan air karst. Menurutnya, 81% penggunaan air bergantung pada mata air, sisanya air tanah. 

Pada mata air Paisu Batu, daerah Buko, sempat dibuat mikrohidro. Selain itu masyarakat memiliki kegiatan yang berkaitan dengan perawatan mata air, misalnya kegiatan Rabu bersih, semboyan monsuai tano, yang lebih kurang semangat kolektif untuk selalu mencintai produk dan perkembangan daerah. 

Daerah hulu, di perbukitan menjadi hutan lindung, suaka alam, sumber daya hayati, sumber daya air (recharge area), tetapi ada ancaman: lereng curam, konversi lahan peladang berpindah, penambangan, tektonik, erosi dan longsor. Daerah tengah, dataran dan gisik, potensi ekonomi permukiman, pertanian, pariwisata, tetapi memiliki ancaman: pertumbuhan penduduk, ekspansi kota, pencemaran, banjir kota dan konflik sosial. Daerah hilir perairan dangkal, mata air, terumbu karang, dan perlu diketahui bahwa Banggai kepulauan dikelilingi oleh penunjaman lempeng samudra. Sering terjadi gempa dan potensial terjadi tsunami.      

Pak Langgeng merekomendasikan agar tutupan lahan dapat dikonservasi menjadi hutan. Banggai Kepulauan adalah suatu tipologi pulau kecil yang tersusun dari terumbu yang unik dan memilki kerentanan secara topografis.  

Ada setidaknya 34% luasan lahan direkomendasikan untuk dilindungi. Pak Langgeng juga menduga bahwa jika dilempar ke masyarakat speleologi tentu akan didapat respon dari mereka bahwa seharusnya yang dikonservasi seluas 99% yang perlu dilindungi. Intinya, banyak sekali keunikan di Banggai Kepulauan, seperti juga yang telah disampaikan Mas Andy pada awal pemaparan. Salah satu yang dikemukakan sebagai ilustrasi adalah Selobar, mata air yang terjadi karena adanya kontak dengan air laut yang di waktu pasang masuk ke dalam sistem perguaan. 

Kemudian moderator menyambung pembicaraan dengan mengulas secara ringkas poin penting yang dipaparkan oleh Pak Langgeng. Menurutnya, banyak poin yang membuka wawasan baru, 81% masy bergantung pada mata air. Air memegang peran kunci di sana. Ancaman besar perubahan lahan dll. Cerita Gua Lolong, bikin tolong-tolong karena lorongnya sempit dan gua pantainya berbatu. Saat keluar air menjadi danau, masuk lagi ke gua, keluar kembali menjadi danau dan nanti sampai ke Okumel—keluar dari gua bisa langsung mandi. Yang di atasnya dimanfaatkan sebagai permukiman, sedangkan di bawahnya terdapat sistem gua bersungai bawah tanah. Perlu diperhatikan bagaimana sanitasi dan potensi pencemaran.   

Moderator juga merespon lontaran dalam paparan yang disampaikan Pak Langgeng mengenai luasan wilayah yang diajukan untuk masuk dalam zona perlindungan. Kiranya memang perlu pertimbangan dan penciptaan ruang negosiasi antara pemanfatan dan perlindungan. Hal ini penting, terutama dalam isu air yang begitu krusial. Lalu diputar pula beberapa video pendek yang menggambarkan kondisi mata air. 

Kemudian giliran Mas M Iqbal W (ISS), sebagai pemantik ketiga, memaparkan perihal Potensi Gua dan Wisata Karst Banggai Kepulauan. Survei pendataan potensi yang diceritakan oleh Mas Iqbal dilakukan pada tahun 2017, bersama ISS, KLHK, LIPI, Pemda, dan masyarakat. 

Pulau utama Kab. Banggai Kepulauan yaitu Pulau Peling. Banyak pulau-pulau kecil di sekitarnya. Ekosistem karst begitu kaya di sana, salah satunya bentang alam karst sangat menarik untuk dikembangkan sebagai objek wisata. Mas Iqbal mengajukan judul Surga Bernama Banggai Kepulauan.

Fauna endemik Banggai Kepulauan. Kajian Ekosistem Banggai Kepulauan. Inventarisasi selama 10 hari di lapangan, berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait karst bersama masyarakat, dll. Adapun data ekosistem yang diambil antara lain meliputi komponen abiotik terdiri dari komponen eksokarst dan endokarst (gua, mata air, ponor, cekungan tertutup, ceruk, dll.) komponen biotik dalam ekosistem karst berupa fauna dan flora gua dan lingkungannya, serta data pendukung terkait komponen sosial budaya ekonomi masyarakat. 12 kecamatan untuk mendatangi/menemukan titik-titik penting data lapangan. 

Sebagaimana yang telah disebut pula oleh Mas Andy pada paparannya di awal, Mas Iqbal menyampaikan beberapa gua dari ke-17 yang ditemukan akan diperbincangkan secara lebih menyeluruh. Pertama (1.) Gua Tompudao yang memilki lorong horizontal dan vertikal di dalamnya, lorongnya fosil, menjadi habitat kelelawar, dimanfaatkan sebagai tempat berlatih penelusuran gua bagi komunitas pencinta alam di sana. Lokasinya tidak jauh dari permukiman penduduk. Vegetasi sekitar berupa semak belukar. Berikutnya (2.) Sistem Gua Lolong – Okumen yaitu gua yang saling terhubung, mulutnya berada di sebuah cekungan tidak jauh dari permukiman penduduk, berlorong horizontal, sungai keluar dari gua ini. Panjang sekitar 187 m. dengan banyak speleothem yang aktif. Seluruh lorong dialiri air dan berisiko banjir di saat hujan dan berujung pada sebuah sump. Di luar dimanfaatkan warga sebagai sumber mata air. Kemudian (3.) Gua Jepang ada setapak menuju gua, vegetasi sekitar hutan dan lading penduduk, berupa gua horizontal dan berlabirin, banyak kolam air dan spelothem menarik secara estetika dan berpotensi untuk gua wisata yang terkelola dengan arif bijaksana. Sistem Gua Bo’okon – Ululan (tempat keluar air), merupakan sistem sungai bawah tanah dan permukaan, berupa lorong horizontal dan vertikal, rawan banjir, akses terbilang sulit serta jauh dari permukiman penduduk, vegetasi sekitar berupa hutan lebat, terdapat biota endemik (a.l. Rattus pelurus dan Tarsius pelengensis),  memiliki debit air yang besar, menjadi habitat kelelawar.  Kemudian (4.) Gua Babang,  memilki lorong yang luas dan beratap tinggi, terdapat kolam dengan air yang cukup jernih (kebiruan), akses menuju gua ini relatif mudah (berada di pinggir jalan), pemanfaatan air pernah dilakukan di masa lalu, di seberang gua terdapat pemandangan indah berupa pulau-pulau kecil dan laut yang jernih, dan semua itu cukup potensial untuk dikembangkan sebagai objek wisata minat khusus, bahkan bisa menjadi ikon. Juga (5.) Gua Nyoman, entrance gua cukup lebar, banyak bongkahan batu dan kolam air luas di dalamnya, gua terletak tidak jauh dari jalan raya, berada pada posisi bidang yang curam, dan di sebelah timur mulut gua terdapat laguna dan Pulau Lalongo. Dan (6.) Gua Pentu, terdapat sungai bawah tanah, dijadikan wisata ziarah, terdapat setapak berbeton di dalamnya, dimanfaatkan sebagai destinasi wisata.    

Banyak lokasi yang dapat dikembangkan sebagai objek wisata karst, bahkan Banggai Kepulauan layak menjadi ikon wisata karst di Indonesia. Festival wisata Banggai Kepulauan layak diadakan karena strategis untuk promosi yang menunjang wisata. Warga di sana juga cukup mungkin didampingi agar semakin peka dan terlatih mengelola pariwisata. 

Wisata karst Banggai Kepulauan dibangun melalui unsur-unsur utama: Atraksi yang unik, spesifik, dan beranekaragam, keberadaannya menjadi daya tarik alam yang sangat potensial. Meskipun demikian, menurut Mas Iqbal, diperlukan sinergi dengan daya tarik sosial, budaya, dan buatan terkait objek daya tarik wisata—mengadakan serangkaian festival seni dan kuliner menjadi contoh hal tersebut. Aksesibilitas perlu banyak pembenahan terutama pada potensi objek wisata tertentu yang jauh dari pusat kota utama serta sulit dijangkau dengan transportasi umum. Amenitas sangat diperlukan sebagai penunjang dan pendukung pariwisata seperti penginapan, rumah makan, spbu, dll. Kelembagaan harus terus terbuka dan dialogis antara pemda dan masyarakat, gencarkan promosi, serta bangun dukung organisasi atau komunitas yang relevan dengan pariwisata dan konservasi alam.

Sektor pariwisata menjadi bidang yang potensial untuk pengembangan daerah. Banggai Kepulauan cocok untuk mempraktikan cara-cara wisata baru, misalnya Nomadic Tourism. Something to see (ada daya tarik khusus dan unik tiada duanya), dapat bersifat alam, budaya, atau buatan). Something to do, jadi… selain ada yang dilihat dan disaksikan perlu ada wisata yang melibatkan wisatawan melakukan serangkaian kegiatan. Something to buy: apa barang yang dapat dijadikan oleh-oleh dan kenang-kenangan. Something to know, aspek utama, terdapat pengetahuan baru yang dapat diperoleh wisatawan. Jika pengembangan yang menyeluruh ini dapat dipraktikan dengan konsisten dan konsekuen Banggai Kepulauan dapat dijadikan model dari jenis wisata baru yang berbasis ekowisata dan tentu ramah lingkungan serta tidak bersifat masal. KHususnya terkait wisata gua, tentu pengelolaannya harus diatur lebih spesifik lagi, terkait etika, dasar-dasar pengetahuan, mengingat wilayah tersebut begitu rentan. 

Kemudian moderator menyambung pemaparan Mas Iqbal yang telah selesai disampaikan. Moderator sekilas membicarakan adanya beberapa keterbatasan yang lahir saat mewacanakan pariwisata di tengah pandemic yang belum berlalu. Bagaimana pengembangan wisata gua sesuai dengan hasil kajian karst Banggai Kepulauan. Ini tantangan untuk masa pasca-pandemik. 

Pada segmen tanya jawab dan diskusi, Pak Ilham, dari UNJ, yang telah beberapa kali mengunjungi lokasi yang diperbincangkan, atau bisa juga disebut sebagai ‘orang sana’; beliau mengapresiasi acara.  Komparasi antara sumber mata air dengan konservasi kawasan Banggai Kepulauan. Pak Langgeng, posisi hutan konservasi tidak pas melihat luasan tangkapan air. Pak Ilham, orang dari sana juga, katanya, Banggai Laut. Buko, dll… sejak lama kesulitan mengadakan air untuk rumah tangga. Di sana ada budaya panen air di musim hujan. Lahan APL tentu diusahakan oleh mereka. Konsep apa yang bisa diterapkan dalam konteks tersebut? Misalnya model pertanian yang ramah terhadap tangkapan air. Dulunya banyak cengkeh dan kopi atau hutan produksi. Top soil yang tipis menjadikan lahan semacam itu bisa dikonservasi… 

Pak Langgeng menanggapi: Bulagi Selatan, Bulagi, Buko kekurangan sumber air bersih, sampai saat ini masih berusaha terus diatasi. Geomorfologi, permukiman berada di lereng curam perbukitan. Mata air justru muncul di bagian bawah, mata air Lalanday, muncul di tekuk bukit dekat pantai. Itulah yang disebut kendala topografi; hujan juga relatif rendah; tangkapan hujan juga relatif sempit. Geo UGM mencoba dengan teknologi baru, geosonar—mulanya dipakai untuk minyak dan sumber air. Pernah dipraktikkan dan berhasil. Nanti Banggai Kepulauan akan dicoba juga. Bisa dilakukan pengeboran di titik yang bebas dari intrusi air laut. Kendala teknis tentu harus diatasi. Kedua, daerah tangkapan mata air berstatus APL budidaya. Padahal tutupan vegetasi sangat penting dalam konservasi. Banggai Kepulalaun dapat mencontoh praktik di Gn Kidul, misalnya hutan kemasyarakatan. Warga dilibatkan untuk menanam pohon kayu yang tahunan baru dapat dipanen. Hutan yang juga berfungsi secara ekonomi bagi warga. Bisa dipadu dengan model tumpangsari dll. Lalu kemudian Mas Andy ikut memberikan tanggapan, terutama sehubungan dengan fenomena kekeringan di Bulagi Selatan. Menurut Mas Andy, persebaran mata air banyak di formasi Salodik relative banyak. Gua-gua di formasi Salodik juga relatif lebih panjang dan berkembang, berbanding terbalik dengan gua-gua di formasi Peleng. Sangat sedikit mata air di daerah bawah, tetapi di atas-atas bukit banyak gua yang menyimpan reservoir air. Ini menarik. Perlu ada pendalaman khususnya pencarian gua-gua yang terkait dengan isu air. Bulagi Selatan, khususnya pada formasi Peleng.

Mas M. Iqbal, merespon pertanyaan dari Mas Arinaldi; apakah memungkinkan untuk membangun wisata ekslusif? Justru memang semacam itulah konsep yang ditawarkan, menurut Mas Iqbal; pariwisata yang lebih mengedepankan nilai, pengalaman baru, konsep baru, wisata baru, wisata minat khusus. Mengenai pengelolaan sampah? Konsep ekslusif dapat dibuat minimal. Modal sosial masyarakat tergabung dengan dan dalam banyak komunitas.

Pak Langgeng. Mengenai Geopark, menurutnya, itu layak untuk diajukan. Bentang lahan unik, hayati endemik, soal sosial dengan beragam geosite di sana. Aras bergerak adalah kelestarian lingkungan. Masterplan pengelolaan sampah pernah disusun oleh Pak Langgeng, menueutnya, saat ini tinggal kapan akan diimplementasikan? Mengenai pengembangan pariwisata, diperlukan penyatu-paduan rencana induk pariwisata dengan masterplan pengelolaan sampah. Terkait hal itu, kita dapat menjadikan Gn. Rinjani sebagai contoh, yang lainnya kota Malang.   

Moderator mengingatkan peserta untuk kembali hadir pada sesi kedua, setelah istirahat shalat zuhur dan makan siang, yang dimulai pukul 13.00 – 15.00 Wib. Pak Asep Direktur Bina Ekosistem … mengenai arah kebijakan dll. Perda dll. yang ada relevansinya dengan sesi pertama; geologi, geografi, wisata … permasalahan tata guna lahan saat ini. Bagaimana terobosan yang dilakukan untuk mengantisipasi persoalan. Juga mengenai wacana geopark. 

Materi narasumber:

Dokumentasi acara

Related Posts

Leave a Reply