Ringkasan Acara SpeleoTalks Berjuang Mengangkat Air ke Permukaan

Ringkasan oleh Mirza Ahmad H.

Hari Sabtu, 13 Juni 2020, mulai pukul 10.00 – 12.00 WIB, berlangsung acara SpeleoTalks yang diselenggarakan oleh Masyarakat Speleologi Indonesia. Tema SpeleoTalks seri 4 ini adalah upaya-upaya kelompok masyarakat yang bergotong-royong berjuang mengangkat air dari sungai di kedalaman gua ke atas permukaan.

Para narasumber yang dihadirkan untuk berbagi pengalamannya kali ini yaitu Mas Rubiyanto dari Komunitas Merangkul Bumi Desa Jepitu, Mas Mohammad Wiyanto dari Persaudaraan Pengangkatan Air Gua Jomblang Ngejring dan GAPADRI, dan Mas Muhammad Faqih dan Mas Dia Romadhoni dari KMPA Giri Bahama Univ. Muhammadiyah Surakarta. Acara yang dipandu oleh Mas Petrasa Wacana (ASC Jogja/ISS) ini berlangsung dengan cukup lancar dan menarik. Disebut lancar karena panitia berhasil mengatasi kendala teknis ringan terkait dengan jaringan internet dan menarik karena di dalamnya terpaparkan bermacam cerita inspiratif yang sangat berguna bagi para penelusur gua serta pemerhati kawasan karst dari berbagai pihak dan umumnya masyarakat.

Petrasa Wacana moderator SpeleoTalks seri 5

Mas Petra membuka acara dengan salam untuk semua peserta.

Ini tema yang cukup menarik dan tentu menantang kita semua, demikian pernyataan pembuka Mas Petra. Lebih lanjut, begitu besar atensi masyarakat terhadap wilayahnya… mana jalan yang akan kita pilih, jalan heroik yang berjejak atau jalan yang tidak berjejak….” Saat ini, masih menurut Mas Petra, karst di Indonesia berada dalam posisi dilematis antara pemanfaatan yang bersifat ekstraktif dan perlindungan.

Mas Wiyanto mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan paparan mengenai pengalamannya bersama dengan Persaudaraan Pengangkatan Air Gua Jomblang Ngejring, Wonogiri, Jawa Tengah. Mas Wiyanto ini merupakan anggota GAPADRI Jogjakarta. Paparan yang disampaikan olehnya meliputi cerita sejarah bagaimana perjalanan air sehingga bisa diangkat dan dampaknya bagi kehidupan. Apa yang diuraikan olehnya mencakup: rencana, proses, dan hasil.

Setelah beberapa waktu bertualang dan berolahraga masuk keluar gua akhirnya Mas Mohammad Wiyanto dan tim pun merefleksikan pengalamannya; adakah yang dapat kita lakukan untuk masyarakat? 

Mas Mohammad Wiyanto menceritakan bahwa suatu ketika di Wonogiri terjadi peristiwa kemarau yang lebih panjang dari biasanya. Kondisi kekeringan luar biasa yang terjadi di sana kemudian mendapatkan respon dari Mas Mohammad Wiyanto dan tokoh lainnya di padepokan. Selanjutnya dimulailah bermacam koordinasi dan penyusunan rencana-rencana. Hal utama untuk menyikapi kondisi gawat darurat kekurangan pangan dan kekurangan air digelarlah serangkaian aktivitas penggalangan dana untuk membantu mengatasi persoalan tersebut. Hal lainnya, Mas Mohammad Wiyanto mengingat pengalaman sewaktu aktif di GAPADRI hingga kemudian mulai menyusun gagasan mengaktualisasikan potensi air di dalam gua untuk kehidupan warga di sekitarnya. Dimulailah pembentukan tim kerja yang terdiri dari Padepokan Sunan Kalijaga, GAPADRI, dan kelompok masyarakat Suka Tirta—sebagai pendukung dan penerima manfaat dari air. Kebutuhan dana dapat dipenuhi dengan penggalangan dana dari multipihak, salah satunya Djarum Foundation dan banyak individu serta lembaga lain. Lalu tim kerja mulai bergerak di awal September. Tim kerja mulai menghimpun informasi yang ada di lapangan bersama warga. Bermacam indikasi lapangan dapat menuntun tim untuk memperoleh keterangan. Tim kerja juga memperoleh bantuan dari para senior GAPADRI yang sudah lama tidak aktif dalam kegiatan organisasi. Kemudian pencarian mengerucut pada sebuah gua yang oleh masyarakat lazim disebut dengan nama Gua Jomblang Ngejring. Dilihat dari luar tampaklah bahwa gua tersebut berkarakter gua vertikal. 

Survei pertama, bagaimana karakteristik gua, untuk mengetahui keadaan dalam, dan yang paling penting adakah potensi air di dalamnya. Hasil survei pertama dihasilkan sketsa: kisaran kedalaman gua single pitch -110 m, terus ditelusuri hingga menemukan aliran air. Survei tersebut dilakukan oleh para penelusur gua dari GAPADRI antara lain, Mas Adi Kurnia, Mas Aziz, Srikandi dll. 

Pada puncak kemarau, Agustus, ada sekitar dua air terjun dan berakhir pada sump: 20.000 liter dengan tiga input aliran, 1,5 lt per detik. Tentu akan semakin banyak air di saat musim hujan. Hasil tersebut dipresentasikan di kampus. Lalu ada survei kedua, tim Gapadri dan dua ahli a.l. Pak Sulaiman Tampubolon (dosen teknik mesin bidang pemompaan) dan Pak Candra Gunawan (praktisi lingkungan yang memiliki akses pada kelayakan kualitas air). Tim masuk ke dalam gua. Hasil survei kedua melahirkan rekomendasi, didukung oleh dua dosen: debit di dalam gua secara kuantitas cukup banyak dan teknis pemompaan mengangkat air ke atas hingga masuk ke dalam bak penampungan, pasokan listrik menggunakan listrik PLN serta kualitas kelayakan air yang kemudian diuji dalam lab. UGM. Air layak konsumsi tetapi harus ada penanganan khusus yaitu direbus. 

Proses pemasangan pipa dan tandon di Gua Jomblang Ngejring di Kab. Wonogiri

Dari semua info tersebut selanjutnya teknis eksekusi pelaksanaan. Kegiatan di fase ini memperoleh dukungan dari khalayak yang lebih luas. Masyarakat sangat mendukung dan membantu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Semua pihak bersinergi.

Tahap eksekusi: pertama memasukkan alat dan bahan yang diperlukan: pipa, pompa, tendon air (-110 m ada 4 buah), serta alat kelistrikan. Juga di sump (di kedalaman – 170 m). Estafet. Akhirnya air terangkat. “Ini gua dekat rumah kami tetapi beratus tahun sejak nenek moyang kami belum tahu di dalamnya ada air.” Warga berkomentar. November air sudah memancar keluar dan termanfaatkan. Taha[p berikutnya ada kegiatan penyempurnaan di sana-sini. Pada 15 Desember peresmian dilakukan. Kerja masih akan terus dilanjutkan. Air yang berhasil diangkat dari Gua Jomblang Ngejring dimanfaatkan oleh warga di Desa Gendayakan, Paranggupito, Wonogiri.  

Berikutnya Mas Romadhoni dan Mas Faqih, keduanya dari Mapala Giri Bahama Fak. Geografi UMS, secara bergiliran menyampaikan materi diskusi perihal pengangkatan air Gua Suruh untuk dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Pucung. Paparannya meliputi tahapan-tahapan aktivitas eksplorasi, riset, dan pendampingan masyarakat.

Semua bermula pada tahun 1999. Saat itu GIRI BAHAMA mengeksplorasi kawasan permukaan karst. Melalui kegiatan tersebut GIRI BAHAMA melihat masalah kesulitan air yang dialami warga yang kemudian melahirkan tekad GIRI BAHAMA untuk berusaha meringankan kesulitan yang ada. Tekad tersebut mendapatkan perwujudannya di tahun 2000 – 2002 melalui eksplorasi endokarst dan pemetaan gua. Adakah potensi air sungai bawah tanah yang dapat dimanfaatkan? Sejak kegiatan pada 1999 itu alumni GIRI BAHAMA sudah memikirkan bagaimana cara air dapat diangkat.

Pada tahun 2007 diadakan riset intepretasi persebaran mulut gua menggunakan foto infra merah, dan analisis pola konsumsi masyarakat, pola aliran sungai serta debit airnya… Pada tahun 2008, kemudian dilakukan upaya mencari dukungan warga hingga pengenalan perihal karst beserta potensi manfaatnya, salah satunya dengan mengajak warga dan Kepdes untuk masuk gua guna mengetahui peluang kemungkinan mengangkat gua. GIRI BAHAMA berdiskusi mengenai metode perihal teknik pengangkatan dan pembendungan. Akhirnya dibuat bendung berupa tanggulan atau seperti polisi tidur. 

Proses pengerjaan instalasi air di Gua Suruh, Kab. Wonogiri

Pada tahun 2010 – 2012 diupayakan serangkaian usaha penggalangan dana serta memupuk keyakinan warga betapa pentingnya keterlibatan warga dan banyak pihak. Pada tahap ini keberhasilan dapat dilihat dengan lahirnya inisiatif warga melakukan kerja bakti membuat/memperbaiki jalan menuju Gua Suruh yang mulanya sulit diakses. Pada awal 2012 diadakan kegiatan penyusunan rencana-rencana. Di tahun yang sama, tim GIRI BAHAMA memperoleh kabar dari warga bahwa proposal warga yang diajukan ke pemerintah disetujui oleh Pemda Wonogiri. Kekurangan dana kemudian dapat ditutupi oleh dukungan donasi lainnya terutama dari Dewan Dakwah Indonesia. Masih pada tahun 2012 tim mulai menginstal peralatan pompa dan pembendungan air. Tahapan ini berlangsung hingga 2013. Selanjutnya warga dilatih untuk dapat menelusuri gua dengan aman dan dapat mengatasi masalah instalasi pipa dan pompa. Pada 2014 – 2016 dilakukan usaha pembentukan organisasi pengelolaan air: Tirta Gua Suluh. Kemudian dilakukan pula pemasangan pipa-pipa dari hidran umum ke rumah-rumah warga. Sejak tahun 2013 – sekarang GIRI BAHAMA terus melakukan pendampingan yang difokuskan pada kawasan dan perawatan. Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari proses panjang sejak 1999 – sekarang antara lain bahwa keyakinan yang bulat menjadi modal utama untuk mewujudkan mimpi. 

Selanjutnya moderator mengundang narasumber ketiga, Mas Rubiyanto (KOMBI), untuk memaparkan pengalamannya. Sambil menunggu Mas Rubiyanto bersiap, moderator menyampaikan bahwa ia sempat beberapa kali terlibat dalam kegiatan speleology di Pulejajar. “Alhamdulillah, proses masih terus bergulir, dan air masih dimanfaatkan oleh warga,” demikian cerita ringkas yang menjadi semacam pengantar sebelum Mas Rubiyanto mulai bercerita. 

“Sejarah di Pulejajar belum selesai. Proses masih berlanjut. Penggalan cerita belum selesai, mungkin baru setengahnya,” ucap Mas Rubiyanto setelah sebelumnya menyapa peserta dan memohon izin kepada dulur-dulur caver yang pernah terlibat dalam kegiatan Gugurgunung Pulejajar untuk menyampaikan pengalamannya bersama mereka.  

Cerita bermula dari pertemuan Mas Rubiyanto dengan anggota Pangea UPN Veteran Jogjakarta di tahun 2007 – 2008. Lalu Pangea, masyarakat (yang kemudian membentu organisasi KOMB)I, Kappala Indonesia berkegiatan bersama dalam ekspedisi pencarian persebaran mata air.  

Kegiatan 20 hari. Dari kegiatan itu sejumlah 14 gua dipetakan waktu itu, salah satunya Gua Pulejajar. Di Gua Pulejajar ditemukan aliran sungai bawah tanah. Mas Rubiyanto menceritakan bahwa itulah untuk pertama kalinya dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam gua—berikut dengan segala keterbatasan peralatan.     

Pada 2011 – 2012, bersama-sama dengan ASC Jogja, KOMBI, dan Mapala UI dilakukan uji coba pengangkatan air dengan memanfaatkan gravitasi (menggunakan waterpass, sebagaimana yang lazim digunakan oleh tukang batu). Untuk mendapatkan peralatan yang diperlukan Mas Rubiyanto dkk. Harus untang anting mencari-cari sampai ke Praci. Menurut Mas Rubiyanto, ide yang disampaikan dan diujicobakan oleh Mapala UI sangat berlian dan menjadi kenang-kenangan yang sangat berharga. Kemudian bersama alm. Mas Bagus ASC, kami terus membawa-bawa cerita Gua Pulejajar ke berbagai pertemuan. 

Kemudian pada 2012 – 2013, warga berinisiatif membuat pelebaran jalan, yang semula setapak kemudian diperlebar menjadi seukuran jalur mobil dengan menggunakan dana PNPM Bank Mandiri. Program yang disiapkan oleh Mapala UI terhenti karena satu dan lain hal sehingga warga harus mencari jalur-jalur baru terkait tindak lanjut dari rencana.  

Beruntung, pada 2013 – 2014 usulan yang diajukan terkait usaha mengangkat air dari dalam gua akhirnya disepakati oleh Musdes sehingga pada 2015 dapat dilakukan kegiatan “Gugurgunung Caver Jilid 1” yang merupakan wujud awal dari realisasi dari rencana yang telah disusun. Sepanjang 1.200 m pipa disiapkan dan semua itu dikerjakan dengan sukarela. Banyak elemen terlibat bersama, antara lain warga, KOMPBI, GIRI BAHAMA, ASC, ACY, Tanggap Jogja, Polda DIY, SAR DIY, dan masih banyak teman-teman yang lainnya. “Sampai sekarang semua kami anggap sebagai dulur sak lawase,” ungkap Mas Rubiyanto. Lalu masih di tahun yang sama dilakukan pula pemetaan yang lebih detail yang dikerjakan oleh dulur-dulur ASC Jogja (Grade X). 

Berlanjut ke tahun 2016, dilakukan optimalisasi pipa. Semula pipa yang digunakan berukuran 2” sepanjang 800 m dan 1” sepanjang 400 m diubah agar proses pengangkatan air menjadi lebih optimal. Selain itu ada pula aktivitas pemasangan water torn yang dibeli dengan menggunakan dana sumbangan Kafegama 89. Kemudian dilakukan pula instalasi panel surya. 

Gugur gunung jilid kedua pemasangan pipa di Gua Pulejajar, Kab. Gunung Kidul

Pada 2017 ada upaya untuk memperbesar debit air yang dapat dimanfaatkan oleh 4.000 jiwa warga. Kegiatan-kegiatan masih terus berlanjut hingga 2019 dengan diadakannya “Gugurgunung Jilid 2”. Kegiatan ini melibatkan Lembaga Wakaf Al-Quran dan TNI, selain teman-teman dan elemen masyarakat yang sebelumnya sudah terlibat pada Gugurgunung Jilid 1. Terkini, kami memperoleh bantuan berwujud bak penampungan. Saat ini kami sedang membangun pondasi untuk memasang bak tersebut. Yang jelas, kami berusaha terus mencintai pengalaman yang didapatkan bersama semua dulu-dulur yang juga guru-guru kami. 

Setelah pemaparan dari Mas Rubiyanto, moderator kemudian memberi kesempatan kepada Mas Asya Assabirin, yang terlihat sudah ingin bertanya, untuk menyampaikan pertanyaannya. Mas Asya Assabirin dari Pacitan Speleologi Society menyakan kiat-kiat KOMBI sehingga berhasil merangkul banyak pihak untuk “kerja bersama”. Disampaikan oleh Mas Asya bahwa mereka di PSS juga ingin melakukan kegiatan semacam yang dilakukan oleh KOMBI dkk. PSS ingin belajar lebih lanjut mengenai teknik dan manajemennya.

Penanya kedua, Pak Priyono (Dosen Geografi UMS), memberi komentar yang dapat diringkas sebagai apresiasi positif dari beliau untuk semua narasumber serta penyelenggara SpeleoTalks ini. Beliau juga mengemukakan pujiannya kepada para narasumber dan timnya karena bisa mengatasi masalah kekeringan yang identik dengan kemiskinan dan lebih lanjut berkaitan pula dengan kefasikan. Beliau melihat begitu banyak variasi lokasi dan proses yang terjadi. Semua menarik, menurut pandangannya, terutama peran Mapala dan pencinta alam umumnya yang berhasil mengawinkan aktivitas petualangan dan olahraga serta ilmu pengetahuan bersama masyarakat. Lebih lanjut, Pak Priyono menggarisbawahi hal yang perlu diperhatikan oleh semua: kelanjutannya bagaimana? Dapatkah diupayakan kemandirian bagi warga? Kita harus sama-sama memperhatikan kelestarian sungai bawah tanah. Dilema pemanfaatan air dan landuse untuk penghidupan. 

Beberapa pertanyaan serta komentar yang diajukan peserta kemudian memperoleh respon dan jawaban dari semua narasumber. Pertama Mas Mohammad Wiyanto menjawab pertanyaan Mas Asya. Menurutnya perlu disiapkan dengan baik semua faktor pendukung, termasuk dalam hal pendanaan. Perlu diidentifikasi siapa-sapa yang bisa disasar untuk membantu. Bekerja selalu berdampingan. Terus menerus, berkelanjutan, dan memerlukan proses yang panjang. Mas Mohammad Wiyanto juga merespon ihwal kemandirian yang disampaikan oleh Pak Priyono. Apa yang dilontarkan oleh Pak Priyono telah diantisipasi dalam wujud pembentukan Kelompok Masyarakat Suka Tirta. Mereka inilah, menurut Mas Wiyanto, yang disiapkan menjadi pengelola; dan sebelumnya harus dilatih dan memperoleh pendampingan. Kemudian Mas Romadhoni juga memberikan responnya atas beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh peserta. Menurutnya sangatlah perlu menjaga hubungan baik dengan semua pihak yang akan diajak bekerjasama. Tekad untuk membantu harus ditegaskan dan keyakinan bahwa mimpi dapat diwujudkan. Libatkan juga sektor swasta selain pemerintah.

Menyambung beberapa respond an jawaban yang dilontarkan oleh narasumber, Mas Petra sebagai moderator mengetengahkan ilustrasi menarik yang diamatinya dari Karst Gn. Sewu. Menurutnya, sebagian besar penghasilan warga habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan akan air dengan cara membeli. Jika persoalan air dapat diatasi, perlu diantisipasi keberlanjutannya. Ilmu speleologi tidak berhenti pada aktivitas masuk keluar gua semata. Lebih lanjut, menurut Mas Petra, para penelusur gua juga perlu berpikir mengenai bagaimana aktivitas dan penerapan speleologi dapat ditransmisikan kepada warga dan masyarakat luas.

Pak Priyono kemudian memberikan respon lanjutan. Berhubungan dengan persoalan pola konsumsi air sebagaimana yang disinggung oleh moderator. Pak Priyono menceritakan “kasus” di Eromoko. Di sana, menurut Pak Priyono, ada problem lain: jika GIRI BAHAMA sebelum survei melakukan riset pola konsumsi air. Di Pucung sudah sebagian besar warga mengakses air menggunakan sambungan langsung ke dalam gua, menurutnya itu sangat berisiko. Jika warga kini secara mudah memperoleh air, selanjutnya akan terbangun kebiasaan menghambur-hamburkan air yang semula sulit didapatkan. Selain itu, tibul pula pertanyaan, bagaimana upaya yang sudah dilakukan oleh para pencinta alam ini bisa dikloning dan dijadikan contoh untuk wilayah lainnya. Pak Priyono juga menyampaikan kebiasaan dirinya menuliskan hasil-hasil pengamatannya terhadap beragam fenomena dan problem di kawasan karst yang dipublikasi melalui media masa, jurnal, dan buku.

Apa yang disampaikan Pak Priyono adalah pesan bagi kita semua. Moderator juga memberikan ulasan mengenai peran dan sumbangsih alm. Mas Bagus ASC dalam penyebarluasan speleologi di tengah masyarakat. Almarhum adalah salah seorang pelopor speleologi di Indonesia. 

Pertanyaan berikutnya disampaikan Mbak Cantika. Dia menanyakan perihal kelayakan air dari dalam gua, apakah aman dikonsumsi oleh manusia? Jawaban pertama dari Mas Mohammad Wiyanto. Menurutnya, perlu diuji kelayakannya di dalam laboratorium. Khusus untuk gua Jomblang Ngejring, air dinilai layak tetapi perlu dimasak sampai mendidih. Kemudian jawaban berikutnya oleh Mas Romadhoni, intinya perlu direbus terlebih dahulu. Mas Rubiyanto menyampaikan bahwa yang utama bagi masyarakat adanya keberadaan air saja sudah sangat bersyukur, belum lagi mempertimbangkan kualitas air. Meski demikian masyarakat memiliki kebiasaan untuk merebus air sebelum dikonsumsi. 

Berikutnya pertanyaan dari Mbak Anis Sudasmo yang bertanya mengenai karakteristik karst dan gua yang telah diteliti atau ditelusuri. Pertanyaannya mendapatkan jawaban dari Pak Priyono. Beliau memberikan pandangannya bahwa dilihat dari panorama, sifat meloloskan air, dan fenomena karstik dapat dianggap beberapa hal hampir sama. Dalam hal pembentukan gua dan ornamen yang terbentuk di dalamnya memerlukan waktu yang sangat panjang. Misalnya karakter karst di sisi selatan dan utara Pulau Jawa memiliki umur yang berbeda.

Respon mengenai kualitas dan kelayakan air dari dalam gua juga disampaikan oleh Mas Arif jauhari (GIRI GAHAMA/ISS). Di awal respon yang disampaikan, terlebih dahulu Mas Arif mengucapkan terima kasih atas dukungan Pak Priyono selama ini. Berdasarkan pengalamannya menelusuri gua dan mengamati air sungai bawah tanah, Mas Arif menyimpulkan bahwa rata-rata ecoli selalu tinggi. Pada simposium karst 1996 timbul pertanyaan, jika ecoli dan kesadahan (kandungan kapur tinggi) tinggi apakah layak dikonsumsi? Hasil obrolan dengan seorang bidan senior di Gunung Sewu bisa menjadi ilustrasi. Ada yang menarik di sana: dalam grafik, penyakit batu ginjal sangatlah rendah bila dibandingkan dengan penyakit lainnya. Rupanya adaptasi warga yang sudah bertahun-tahun hidup di dalam ekosistem karst membuat mereka menjadi lebih tangguh. Terdapatnya air sangat disyukuri oleh warga, di sisi lain mahasiswa/cavers jangan bosan untuk mengingatkan, dengan cara-cara yang baik, agar warga berhati-hati dalam mengonsumsi. Mas Arif juga menyampaikan terima kasih kepada para senior pendahulunya, antara lain Mas Tutut, Mas Tobir, dan Mas Bagus yang mengingatkan untuk mengembangkan metode kerja yang partisipatif dan kolaboratif.

Mempertimbangkan ketersediaan waktu yang ada, moderator memberikan kesempatan kepada narasumber untuk menyampaikan pernyataan penutup. Pertama, Mas Mohammad Wiyanto: kita tidak melulu membicarakan kita sebagai pribadi tetapi juga sesama manusia. Sebagai Mapala kita berperan sesuai kapasitas, tidak hanya terjebak pada bidang adventure yang menjadi kesenangan kita, tetapi meluaskan kebermanfaatan bagi masyarakat. Kedua, Mas Dia Romadhoni: kegiatan semacam speleoTalks bisa menjadi pemantik kesadaran para penelusur gua dan karst, sesungguhnya karst untuk kehidupan bersama masyarakat. Ketiga, Mas Rubiyanto: untuk semua kawan-kawan, semoga semua konsisten dalam dunia karst. Mari kita berkontribusi positif pada kawasan karst. Kami warga sekitar gua telah menerima manfaat baik dari kawan-kawan semua. Kami juga berharap kebahagiaan kami dapat pula dirasakan oleh masyarakat karst di wilayah lainnya yang masih mengalami kesulitan air maupun problem lainnya.

Setelah narasumber menyampaikan pernyataan dan harapan serta pesan-pesan, kemudian moderator menyatakan bahwa semua yang disampaikan adalah tantangan bagi kita semua. Mas Petra menambahkan, jika dulu kita cuma keluar masuk gua, sudah saatnya sekarang kita berpikir bagaimana agar speleologi menjadi perhatian bersama. Contoh di China, sebagai pelajaran kita, tahun 2010 pmerintahnya besar-besaran menutup banyak pabrik semen. Suatu tindakan yang didasari oleh kedaran bahwa 20% cadangan air di dunia berada dalam kawasan karst di China. Dan di Indonesia saat ini diproyeksikan stok persediaan semen jauh melampaui kebutuhan nasional. Semoga apa yang sudah dipaparkan dalam SpeleoTalks ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua. 

Di sesi akhir sebelum penutupan, pembawa acara, Mas Imron, kembali mengumumkan bahwa tersedia give away dari Katamata Coffee & Roastery berupa 2 blend kopi bagi 2 peserta yang postingannya di media sosial, terkait acara SpeleoTalks ini, terpilih oleh panitia. Selain itu juga ada hadiah berupa sebuah buku mengenai karst dan air karst karya Pak Priyono bagi ketiga narasumber dan moderator masing-masing satu eksemplar.

Materi narasumber:

Dokumentasi acara SpeleoTalks seri 4

Related Posts

Leave a Reply