Ringkasan oleh Mirza Ahmad H.
Hari Minggu, 7 Juni 2020, mulai pukul 10.00 – 12.00 WIB berlangsung acara SpeleoTalks #3 bertajuk “Hasil Kegiatan di TN Betung Kerihun Kalimantan Barat dan TN Manusela Pulau Seram”. Tuan rumah kegiatan ini, yaitu Masyarakat Speleologi Indonesia, mengundang empat orang narasumber, yaitu Zufar Fauzan E. (Lawalata IPB), Raihan Suwanto (Impala UB), Ahmad Sya’roni (ASC Jogja), dan Aan Dedhi Irawan (Wapeala Undip). Acara ini dipandu oleh Rasyid Wisnu Aji (ISS).
Dari keempat narasumber yang dihadirkan dalam acara ini dapat dikelompokkan ke dalam dua lokasi kegiatan, yaitu Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Manusela (TNM). Hasil Ekspedisi ke TN. Betung Kerihun (Kalbar) disampaikan oleh perwakilan dari Lawalata IPB dan tim Impala UB, adapun hasil ekspedisi ke TN. Manusela (Pulau Seram) disampaikan oleh perwakilan dari tim ASC Jogja dan tim Wapeala Undip.
Berikut ini resume atas empat paparan yang disampaikan oleh masing-masing narasumber.
Tim TN Betung Kerihun 1 – Lawalata IPB Bogor:
Mas Fauzan dari Lawalata IPB berbagi cerita tentang “Ekspedisi Lentera Putussibau: Studi Potensi Kawasan Karst dan Sosial Budaya Masyarakat di Sekitar Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun”. Sebagai gambaran awal disebutkan bahwa luasan ekosistem karst di Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun mencapai 354.273 Ha. Salah satu sisi kawasan Taman Nasional Betung Kerihun berbatasan dengan negara tetangga—Malaysia. Lokasi kegiatan tim ekspedisi ini khususnya berada pada Subdas Kapuashulu, Sungai Bulid… Dan Desa Tanjunglokang menjadi desa terakhir sebelum tim masuk kawasan. Memerlukan waktu lebih dari 4 jam menggunakan longboat, jenis yang umum dipakai oleh warga. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan berganti kendaraan ke perahu ces yang memakan waktu 2 – 3 jam perjalanan melawan arus Sungai Kapuas.
Ekspedisi ini dilatarbelakangi oleh kenyataan adanya kawasan karst yang cukup luas di Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun tetapi sayangnya belum teridentifikasi “secara resmi”. Pemaparan Mas Fauzan berfokus pada soal identifikasi gua dan biota gua yang ditemukan. Meskipun demikian terulas pula secara ringkas identifikasi persebaran gua dan pengukuran debit air dalam ekspedisi.
Sejumlah 8 mulut gua ditelusuri oleh tim ekspedisi dan 6 di antaranya berhasil dipetakan (Diang Arong, Diang Uto’umo, Diang Balu, Diang Peang, Diang Sungesinom, Diang Tolo, Diang Ngingit, Diang Kaung). Umumnya berkarakter gua-gua horizontal, meski ada beberapa gua yang memiliki lorong vertikal, yaitu pada segmen pertemuan dua lorong gua dari lubang mulut yang berbeda, yaitu Gua Arong dan Gua Ngingit. Kemudian oleh tim ekspedisi disebut sebagai Sistem Arong-Ngingit (1.173 m), saling bertemu, terdapat aliran air yang relatif kecil. Dalam proses mengakses gua, tim ekspedisi selalu mendapat bantuan dari masyarakat tempatan.
Gua Balu (745,5 m). Gua horizontal dengan lorong besar, fosil, banyak ornamen dan chamber ukuran besar, memilki 3 mulut, salah satu chamber yang sempat diukur memiliki ketinggian atap gua mencapai 80 m. Gua Singom (323,6 m). Di dalamnya terdapat sebuah relung sedalam 4 m. Mulut gua relatif kecil, banyak ornamen besar ditemukan di dalamnya. Pada gua ini tim ekspedisi mendapatkan kejutan dengan menemukan Stenasellus. Rupanya itu menjadi temuan pertama keberadaan Stenasellus di Kalbar. Gua Uto’umo (328,5 m). Banyak ornamen pilar besar dan runtuhan batu yang besar-besar. Hal yang juga menarik di dalam gua ini terdapat akar pohon yang menjulur masuk ke dalam gua. Gua Peang (179,4 m) merupakan gua terpendek yang berhasil dipetakan oleh tim ekspedisi. Pada gua ini tim ekspedisi memperoleh kejutan lain berupa terdapatnya peti mati yang ditempatkan oleh masyarakat adat di area mulut gua. Masyarakat setempat memaknai gua sebagai salah satu tempat/lokasi/sesuatu yang disakralkan. Dalam kamus bahasa setempat “gua” disebut sebagai “diang”.
Di paparan berikutnya, mengenai biospeleologi, Mas Fauzan menunjukkan 23 spesies biota yang ditemukan. Mulai dari kelompok mamalia, insekta, chilopoda, molusca, amphibian, arachnida, dan lain sebagainya. Melalui grafik yang ditampilkan olehnya tergambarkan bahwa anggota kelas arachnida menjadi temuan terbanyak, diikuti insekta, malacostraca, mamalia, dan lainnya. Berdasarkan kategori biota, trogophile pealing banyak ditemukan, di bawahnya ada trogloxene, hingga troglobite di urutan terbawah. Terkait tinjauan biota gua, Mas Fauzan menyampaikan bahwa tim ekspedisi banyak memperoleh bimbingan dari Mas Cahyo Rahmadi. Selain Stenasellus, temuan menarik lainnya yaitu ikan gua di Gua Ngingit.
Mengakhiri paparannya, Mas Fauzan berharap ke depan masih akan dilakukan kegiatan speleologi lanjutan di TNBK.
Tim TN Betung Kerihun 2 – Impala UB Malang:
Presentasi kedua oleh Mas Raihan Suwanto. Ia menceritakan proses dan hasil yang diperoleh dari “Heart of Borneo Expedition”. Ekspedisi tersebut berlangsung pada bulan Juli – Agustus 2019, selama 30 hari dengan fase lapangan selama 10 hari. Disebutkan oleh Mas Raihan bahwa 68% dari luasan karst Kalbar berada di dalam TNBK. Adapun hal yang turut melatar-belakangi dilakukannya ekspedisi ini adalah rencana pembangunan Trans Borneo (Kalbar dan Kaltim) yang masuk melintas atau membelah hutan di TNBK.
Selain penelusuran dan pemetaan gua, tim Heart of Borneo Expedition juga melakukan pendataan fauna gua. Mas Raihan memaparkan bahwa pada tahap perencanaan, tim ekspedisi memperoleh informasi keberadaan gua-gua dari tim sebelumnya maupun pihak taman nasional dan gua-gua itulah yang kemudian dieksplorasi, yaitu Diang Tonokong, Diang Ngingit, Diang Puun Tohop, Lubang Petet, Diang Hiu, Diang Tolo, Lubang Puun More, Diang Uto’umo, Diang Balu, Diang Peang, Diang Bovo, Lubang Bi. Menurut informasi Mas Fauzan, karakteristik umum lokasi ekspedisi berwujud area tower karst. Beberapa gua memerlukan pemanjatan tebing untuk mengakses mulut gua. Hal yang cukup menarik, tim ekspedisi menemukan banyak lorong yang saling terhubung satu dengan yang lainnya. Adapun gua yang dipetakan yaitu Puun Tohop (225,8 m), Diang Tolo (1.870,26 m—Puun Lunuk, Puun Duru, Puun More), dan Diang Kemurun (353, 39 m) sehingga total tiga gua yang dipetakan.
Diang Tolo, dapat dikatakan sebagai maskot bagi gua-gua di TNBK, termasuk gua terbesar. Memiliki banyak mulut (entrance), ada yang berada di tengah tebing. Ada karakter lorong sempit tetapi banyak pula yang sangat besar. Gua berlorong vertical ditemukan pada Diang Kemurun. Kedalaman lorong vertikal mencapai 17 m. Pada gua tersebut dilakukan pemetaan dan digambarkan dalam grade 5 BCRA.
Biota gua yang ditemukan antara lain Arthropoda (Araneae, Opiliones, dan Amblypygi), Insecta (Blattodea, Diplopoda, Chilopoda, Krustasea), dan Chiroptera. Selain itu ditemukan pula kodok, katak hijau, ular, ikan buta, burung sriti dan walet. Empat spesies kelelawar. Hal menarik lainnya, Mas Raihan menceritakan, terdapat gua yang dijadikan lokasi budidaya walet. Persaingan antarmasyarakat cukup keras terkait hal tersebut. Karena menghasilkan banyak uang, lokasi sarang burung walet sangat dijaga, bahkan banyak yang berdiam di dalam gua selama berbulan-bulan. Dalam kebosanan menjaga sarang wallet banyak warga yang melampiaskannya dengan membuat tulisan-tulisan maupun gambar dan corat-coret lainnya pada dinding gua dengan menggunakan arang sisa obor. Namun sudah sejak lama mata pencarian tersebut ditinggalkan oleh masyarakat karena waletnya mungkin punah atau berpindah entah ke mana.
Tim Manusela Seram 1 – ASC Jogjakarta:
Presentasi dilanjutkan oleh Mas Roni yang bercerita tentang ekspedisi “Menjejak Gua Terdalam di Indonesia: Hatusaka 2018”. Ekspedisi ini, bagi ASC, untuk yang kedua kalinya. Pada kali pertama (2011) terhalang cuaca yang tidak memungkinkan tim ekspedisi ASC gagal mencapai dasar gua dan baru pada ekspedisi di tahun 2018 hal tersebut dapat diwujudkan. Ekspedisi ini merupakan kerjasama ASC dengan TN. Manusela. Melalui ekspedisi ini pihak TN Manusela berusaha memperoleh satu rolemodel yang dapat diterapkan dalam manajemen Gua Hatusaka. Ekspedisi ini melibatkan beberapa disiplin ilmu dan berdurasi selama 2 minggu. Ekspedisi ini meliputi kegiatan eksplorasi dan pemetaan gua, tinjauan hidrogeologi, geologi, biospeleologi, serta kajian sosial ekonomi dan budaya.
Informasi mengenai keberadaan Gua Hatusaka sudah diketahui oleh ASC sejak 1998. Mas Roni menceritakan bahwa informasi tersebut bermula dari keterlibatan ASC sebuah kegiatan peliputan. Ekspedisi 2018 berfokus pada upaya memetakan dan memverifikasi kedalaman guaserta pendataan potensi gua dan lingkungan sekitarnya. Sampai dengan 2020, sebagaimana disampaikan Mas Roni, setidaknya terdapat lima tim ekspedisi yang telah masuk ke Gua Hatusaka, yaitu: tim gabungan Amerika-Inggris-Perancis-Australia (1998) yang mencapai dasar gua, ASC Yogyakarta (2011) tidak mencapai dasar gua, tim Italia (2016) mencapai dasar gua, Mapala UI (2017) tidak mencapai dasar gua, dan ASC Jogjakarta (2018) mencapai dasar gua.
Penelusuran gua ini sangatlah bergantung pada cuaca, karena Gua Hatusaka berpotensi banjir. Lintasan yang digunakan terbagi ke dalam tiga pitch. Dalam hal pemetaan tim ekspedisi menemukan beberapa kendala antara lain yang disebabkan oleh kondisi alam yang berkabut pekatsehingga penggunaan laser disto maupun pita ukur menjadi terkendala. Metode pemetaan yang dilakukan yaitu top to bottom.
Melalui ekspedisi ini terverifikasi bahwa Gua Hatusaka berkedalaman -377 m. Mas Erlangga, sang kartografer, menggambar menggunakan bantuan dari deskripsi, sketsa, dan foto-foto. Hal menarik yang perlu dicatat adalah bahwa kartografer tidak harus masuk ke dalam gua.
Banyak hal menarik dari segi sosial budaya masyarakat sekitar gua. Masyarakat Saleman memaknai Gua Hatusaka sebagai tempat sakral, begitu pula terhadap Gn. Hatusaka. Untuk dapat mendekati dan memasuki gua diperlukan ritual adat dan setelahnya anggota tim diberi gelang merah masing-masingnya yang dipahami sebagai penanda kepada leluhur bahwa para pemakai gelang telah diberi izin dan sudah dianggap sebagai keluarga.
Gua Hatusaka berada di ketinggian sekitar 1000 mdpl. Kondisi udara lebih dingin dibandingkan dengan di Jawa. Batuannya juga lebih tua daripada di Jawa. Ornamen di Gua Hatusaka sudah tidak berkembang, atau mati, batuan di sana menuju meta-sedimen, dan proses pelarutan sudah berhenti.
Kabut di dalam lorong pekat sejak pagi dan mulai memudar saat siang dan lalu kembali menebal menuju sore. Kondisi dasar gua begitu luas, menurut Mas Roni, berdasarkan pengukuran sekitar 60 x 90 m. Kondisi di bawah didominasi pasir dan sedimen lumpur. Limpasan air dari atas menjadikan sedimen di dasar.
Gua Hatusaka menjadi lokasi buangan air dari gua lainnya. Saluran pembuangan air Gua Hatusaka, hilangnya air masih menjadi misteri, karena terbatasnya waktu tidak melakukan tracing air. Catchment area seluas 3,4 km2. Dari semua wilayah tangkapan air masuk ke Gua Hatusaka. Adapun dalam hal penelitian mengenai fauna gua, tim ekspedisi mendapat bantuan dari Mas Cahyo Rahmadi terutama dalam mengidentifikasi biota gua. Beberapa hewan ditemukan di jalur eksplorasi. Di dasar gua banyak ditemukan cacing yang memakan daun-daun yang terbawa masuk bersama air. Menariknya, menurut Mas Roni, cacing yang ditemukan di dasar gua berbeda dengan yang cacing di permukaan.
Tim Seram Manusela Seram 2 – Wapeala:
Mas Aan Dedhi menjadi narasumber terakhir. Ia berbagi kisah mengenai “Diponegoro Moluccas Expedition” yang diadakan oleh Wapeala Undip. Ekspedisi tersebut berlangsung di dalam kawasan TN Manusela pada 1 – 26 September 2016. Motto Undip, “Become an excellent research university” turut melatar-belakangi digagasnya ekspedisi ini, yang bertujuan untuk mengetahui kondisi gua karst di sana, potensi wisata, pendataan dan pemetaan gua. Pada kegiatan tersebut Wapeala dibantu pula oleh Mahipala, Mitra Polhut, dan perwakilan dari taman nasional.
Pada fase pra-ekspedisi, tim melakukan serangkaian kegiatan simulasi di Semarang, Kendal, Gn. kidul, Gombong, dan Grobogan. Adapun terkait lokasi ekspedisi, sebelum tim Wapeala Undip, diketahui beberapa tim ekspedisi telah melakukan eksplorasi di TN Manusela, antara lain: Joint Sydney University Speleological Society (SUSS) dan Wessex Caving Club (WCC ) Seram Expedition 1996, ASC Jogjakarta Seram Speleology Expedition 2011, Seram Expedition oleh tim Italia 2012, Ekspedisi Gua dan Karst Nusantara oleh Impala UB 2013, Spedizione speleological italiana sulle montagne 2015, dan Ekspedisi tim Italia 2016.
Kawasan Taman Nasional Manusela mencakup 19% dari keseluruhan luas Pulau Seram yang didominasi dengan lahan bergelombang dan berupa bentang alam karst berumur trias hingga jura awal (235 juta tahun yang lalu sampai 176 juta tahun yang lalu) sehingga dapat disebut berumur sangat tua. Tim ekspedisi menemukan sungai-sungai musiman.
Sejumlah 38 gua yang terdata, yaitu: Kilikoma 1, Kilikoma 2, Kilikoma 3, Kilikoma 4, Kilikoma 5, Kilikoma 6, Kilikoma 7, Kilikoma 8, Mooti, Latale 1, Latale 2, Waepuo, Yamane, Kepala Waeutu 1, Kepala Waeutu 2, Loa-Loa 1, Loa-Loa 2, Loa-Loa 3, Loa-Loa 4, Loa-Loa 5, Loa-Loa 6, Loa-Loa 7, Poni 1, Poni 2, Tolopone 1, Tolopone 2, Tolopone 3, Tolopone 4, Tolopone 5, Tolopone 6, Tolopone 7, Tolopone 8, Tolopone 9, Roihelu 1, Roihelu 2, Roihelu 3, dan Lopone. Adapun total gua yang dipetakan sejumlah 10 gua. Penamaan gua merujuk pada nama wilayah ditemukannya gua. Hal tersebut dilakukan karena warga pun belum mengenal (atau memiliki nama) gua-gua tersebut.
Terdapat sebuah gua yang dipetakan meski memiliki lorong yang sangat pendek, Gua Kilikoma 6, sekira 12,5 m, karena selanjutnya lorong runtuh dan tidak bisa ditelusuri. Gua Poni 1, sebenarnya hanya satu lorong tetapi karena ada runtuhan membuat tercipta lorong-lorong lain dan membentuk beberapa lantai (abcdefg). Mengenai biota gua yang ditemukan antara lain tokek yang unik—memiliki garis memanjang dari kepala sampai ke buntut. Tim juga menemukan pecahan guci dan kerangka manusia.
Taman Nasional Manusela memiliki tingkat kunjungan yang tinggi, baik wisatawan domestik maupun mancanegara karena memiliki banyak destinasi wisata menarik di dalamnya. Beberapa aktivitas yang digemari oleh wisatawan antara lain penelusuran gua, menyelam, snorkeling, pendakian gunung, dan pengamatan burung. Selain itu keunikan sosial-budaya masyarakat (desa Saway dan Saleman) tidak kalah menarik perhatian pengunjung. Mas Aan menyampaikan bahwa tentu masih banyak potensi gua dan lainnya yang belum terdata sehingga diperlukan adanya ekspedisi dan kajian lebih jauh di waktu kemudian.
Materi dari narasumber:
- Ekspedisi Lentera Putussibau 2019, Lawalata IPB
- Hatusaka 2018, Acintyacunyata Speleological Club
- Diponegoro Moluccas Expedition 2016, Wapeala Undip
Dokumentasi acara SpeleoTalks seri 3 2020