Ringkasan Acara SpeleoTalks Cerita Sejarah Masa Lalu Karst Maros-Pangkep

Ringkasan oleh Mirza Ahmad H.

Pada hari Sabtu (6/6/2020) kemarin, Masyarakat Speleologi Indonesia kembali mengadakan SpeleoTalks, sebuah kegiatan yang diciptakan sebagai forum berbagi pengetahuan dan pengalaman dari dan bagi para penelusur gua, peminat ilmu pengetahuan, serta pemerhati kawasan karst. SpeleoTalks kali ini bertajuk CERITA SEJARAH MASA LALU KARST MAROS-PANGKEP dengan dua narasumber yaitu Adhi Agus Oktaviana (Puslit Arkenas, Ph.D Candidate Griffith University) yang menyajikan “Gambar Cadas Tertua di Karst Maros-Pangkep” dan Mas Basran Burhan (Mahasiswa Griffith University) dengan paparan berjudul “Situs Arkeologi Kawasan Karst Maros-Pangkep”. Acara ini dimoderatori oleh Presiden Masyarakat Speleologi Indonesia, Dr. Cahyo Rahmadi dan berlangsung selama lebih kurang dua jam (dimulai sejak pukul 15.05 sampai dengan 17.10 WIB) serta diikuti oleh lebih kurang 180 orang peserta.

Di awal acara, moderator mengenalkan bahwa kedua narasumber yang hadir merupakan para peneliti yang telah banyak mempublikasikan temuan-temuan arkeologis yang menjadi hasil dari penelitiannya baik di media massa nasional dan internasional maupun pada banyak jurnal ilmiah, salah satunya Jurnal Nature

Pada paparannya, Mas Adhi Agus Oktaviana  menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai gambar cadas adalah gambar yang dibuat manusia, dapat menyerupai figur manusia, manusia setengah hewan, serta figur hewan seperti anoa, babi, rusa, ikan, ayam, kelabang maupun gambar figuratif lainnya antara lain perahu; ada pula gambar yang non-figuratif, misalnya gambar-gambar motif geometris dan cap tangan. Menurut Adhi Agus Oktaviana , di Indonesia, hampir di semua kawasan karst dapat ditemukan gambar cadas, kecuali di Jawa. melalui gambar peta pada sajian ppt. yang disajikan terlihat lokasi sebarannya. 

Paparan Mas Adhi Agus Oktaviana  didasarkan pada pengalaman dan hasil penelitian yang telah dilakukannya, yaitu penelitian kolaboratif yang melibatkan banyak pihak dan bertajuk In search of “Celebes Man”: Archeology of early hominin occupation in Sulawesi. Ada dua fokus utama di dalam penelitian itu, yaitu: 1. Eskavasi di Liang Bulu’ Bettue (yang akan disampaikan oleh Mas Basran Burhan) dan gambar cadas yang dilakukan Mas Adhi Agus Oktaviana  dan tim yang terdiri dari Arkenas dan Griffith University (dipimpin oleh Prof. Adam Brumm), Balai Arkeologi Sulsel, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulsel, dan Institut Teknologi Bandung dengan Dr. Pindi Setiawan. Mas Adhi Agus Oktaviana juga menyampaikan bahwa penelitian yang berlokasi di Sulsel tersebut erat terkait dengan ketertarikan para peneliti internasional, terutama dari Australia, untuk melakukan penelitian di Asia Tenggara terutama mengenai isu migrasi manusia modern (pra-sejarah) ke nusantara. 

Pada halaman presentasi yang dibawakan, Mas Adhi Agus Oktaviana mengulas secara singkat perihal pergerakan Homo Sapiens dari Afrika ke Asia Tenggara. Yang tertua ditemukan di Sumatra—berusia 73 ky – 74 ky, di  Gua Lidah Air, Padang. Disinggung pula perihal dua hipotesis terkait migrasi tersebut: (1.) Jalur Utara: Sumatra – Kalimantan – Sulawesi – Seram dan Papua. Selain itu ada juga (2.) Jalur Selatan: Jawa – Flores – Timor. Faktanya, menurut Adhi Agus Oktaviana , penelitian atas situs-situs arkeologi di Asia Tenggara (terutama yang berusia di kisaran 60 ky – 30 ky) masih sangat sedikit. Meski demikian sampai dengan 2014, gambar cadas yang berhasil didata cukuplah signifikan, dan itu menunjang pertanyaan mengenai migrasi di atas. 4000 – 1000 kya. Dua jalur migrasi: Taiwan – Filipina – Sulawesi – Asia Tenggara – ke Pasifik. Ada juga yang melalui Asia Daratan melalui Malaysia dan ke Sumatra. Ini dibuktikan dengan temuan di Gua Harimau, Sumsel. 

Di Indonesia, sebagaimana yang disampaikan oleh Adhi Agus Oktaviana , laporan arkeologi secara umum pertama kali ditulis oleh Paul dan Frits Sarasin (1898) mengenai kebudayaan Toala yang terkenal dengan “Lancipan Maros Point”, kemudian oleh Van Stein Calenfels (1933), H.R.  Van Hekereen (1933, 1936, 1937, 1950) terutama mengenai gambar cadas Leang Leang, dan oleh Arkenas pada 1997 – 2000-an oleh Prof. Sujono dkk., serta studi yang dilakukan oleh Dr. R Cecep Eka Permana mengenai gambar tangan negatif. 

Mengenai gambar cadas tertua, dipaparkan oleh Adhi Agus Oktaviana . Menurutnya, Arkenas pada 2014 memublikasikan hasil penelitiannya mengenai gambar cadas tertua, berupa gambar figuratif (Zaman Pleistosen, 35.000, Leang Timpuseng. 39,9 – 40 kya). Publikasi tersebut cukup mencengangkan. Arkeolog banyak yang menyangsikan (s.d. 2015) karena umumnya gambar cadas dimasukkan ke dalam budaya penutur Austronesia namun dari bukti-bukti yang ada (melalui uji pertanggalan atau uranium series) terbukti sebagai yang tertua di dunia. Dijelaskan pula sepintas mengenai cara mengambil sampel pertanggalan. Menurutnya tidak setiap situs ada sampel yang dapat diambil dan cara bagaimana mengambil sampel sangatlah penting agar tidak terjadi kesalahan pada tahap penelitian berikutnya. Bentukan bruntul-bruntul (popcorn) kalsit di atas pigmen warna akan terbaca umur minimum dan maksimum (di atas pigmen dan di bawah pigmen) gambar cadas. 

Pada 2019 dipublikasikan gambar perburuan tertua, di Leang Bulu’ Sipong 4 yang ditemukan oleh Hamrullah (Ambu, 2017), di dalam kegiatan survei BPCB Makassar. Pada situs tersebut terdapat dua galeri: galeri atas (ada satu panel gambar: anoa dan babi yang diburu, gambar tangan negatif berjari runcing—warna merah gelap) dan galeri bawah yang terdapat figur manusia setengah hewan atau dikenal dengan therianthropes, umurnya 43,9 kya. Tim juga meneliti pigmen warna: selain merah gelap juga ada ungu. Analisis menunjukkan bahwa bahannya sama: oker atau hematit, namun terjadinya perbedaan warna karena pengolahan atau pencampuran, atau saat menumbuk misalnya. 

Gambar cadas perburuan tertua di dunia

Secara umum: kronologi pertanggalan, pre-autronesian painting (perburuan dan figur babi), 17 kya; terakhir berwarna hitam, gambar tangan negatif, Austronesia. 

Mas Adhi Agus Oktaviana  juga menyampaikan informasi bahwa 40 kya – 30 kya sudah ada praktik memakai perhiasan. Informasi tersebut bermula dari hasil temuan di Leang Bulu’ Bettue. Hal itu menunjukkan adanya pengetahuan seni yang cukup tinggi: ada gambar hewan, bisa mengomunikasikan kepada kelompok mereka. Ada yang menarik: adanya motif matahari yang terukir (seni grafir) pada benda temuan berbentuk benda seni yang bisa dibawa-bawa atau mobile art/portable art, yang oleh banyak peneliti ahli cenderung dimasukkan ke periode yang lebih muda, ternyata berusia 26 kya—yang kemudian di paparan kedua oleh Mas Basran Burhan diulas secara lebih mendetail. Temuan tersebut sangatlah menarik ditinjau dari segi wujud gambar dan motif hias, dari segi pengetahuan seni (estetika ukir/grafir), serta dari segi usia.

Disinggung pula sepintas ihwal teknis survei lapangan. Cara kerja tim survey setelah datang ke lokasi, secara berurutan kurang lebih: sampai di lokasi –beristirahat sejenak – mulai memeriksa keadaan lokasi – mulai menyusun strategi pendataan—misalnya, apakah perekaman dilakukan dari kiri ke kanan atau bagaimana (untuk mempermudah pendeskripsian), di luar dan sebelum memulai semua itu ditentukan terlebih dahulu. Disebutkan oleh Mas Adhi Agus Oktaviana  bahwa pada saat survei dilakukan pembuatan peta situs. Pemetaan yang dilakukan dengan menggunakan sketsa, kompas, dan disto serta autocad. Pada fase pemetaan, tim peneliti melibatkan mahasiswa lalu dikonsultasikan pula kepada Ambu (Speleologist Unhas), sedangkan situs yang sulit diakses dilakukan sendiri oleh Ambu dan para pemanjat. Adapun perekaman gambar cadas dilakukan oleh Mas Adhi Agus Oktaviana dan para mahasiswa (fotografer). Keberadaan foto juga berguna untuk dokumentasi. Kebanyakan temuan gambar cadas di Maros Pangkep berupa gambar tangan negatif dan hewan. Ada beberapa gambar cadas yang masih sempurna, tetapi banyak yang sudah mengelupas dan mengalami aus. 

Mengenai perlindungan situs-situs, menurut Adhi Agus Oktaviana , sejumlah 202 situs dari 500-an situs telah masuk dalam registrasi Cagar Budaya Nasional, sementara itu pertambangan di sekitar situs-situs jelas menjadi ancaman serius. Mengakhiri uraiannya, Mas Adhi Agus Oktaviana menyampaikan bahwa di waktu yang akan datang Arkenas akan segera mempublikasikan temuan-temuan berikutnya serta diskusi yang menyertainya. 

Narasumber berikutnya Mas Basran Burhan. Perihal Migrasi modern awal terkait lukisan tertua di Maros-Pangkep yang dipaparkan oleh Mas Adhi Agus Oktaviana  kembali sedikit disinggung pada awal uraian Mas Basran Burhan, sebelum melangkah pada hasil eskavasi yang dilakukannya. Adapun materi yang disampaikannya banyak diambil dari hasil tiga buah penelitian yang diikuti oleh Mas Basran Burhan.

Di awal paparan terkait dengan situs arkeologi di Maros-Pangkep, Mas Basran Burhan menyebutkan beberapa penelitian awal yang telah dilakukan oleh para ahli arkeologi; yang pertama  pada 1902 oleh Fritts dan Paul Sarasin dan kemudian pada 1950 sebuah laporan gambar cadas pertama oleh Heeren Palm di Leang Pette.

Adapun fokus pemaparan Mas Basran Burhan kali ini terutama pada tiga situs, yaitu Leang Bulu’ Bettue (yang lokasinya berada di sekitar jalan masuk Taman Prasejarah. Diceritakan olehnya bahwa eskavasi pertama di sana dilakukan pada tahun 2013 dan masih berlangsung sampai dengan sekarang. Leang tersebut adalah gua tembus ke Leang Samalea. Panjangnya kurang lebih 300 m. Dan menariknya, di tengah lorong terdapat dua sumuran yang dari sana cahaya matahari dapat masuk ke dalam gua. Banyak temuan arkeologis di sana, terutama berada di sekitar mulut gua. Adapun di bagian lainnya juga ditemukan benda tinggalan meski sangat jarang. Pada bagian lorong-lorong gelap dan remang-remang, Mas Basran Burhan menjelaskan, masih juga dapat ditemukan temuan arkeologis. Temuan yang ada dapat dibedakan atas dua jenis: hunian dan menyisakan perkakas sisa sisa makanan serta temuan lain yang tidak berkait dengan indikasi hunian tetapi karena didorong oleh proses geologis sehingga peninggalan ditemukan di banyak tempat. Pemahaman tersebut berkaitan dengan proses transformasi yang telah terjadi. Di Leang Samalea, misalnya, di saat musim hujan banyak air masuk dan banyak transformasi sedimen. Contoh lain yang dikemukakan oleh Mas Basran Burhan adalah Leang Saripah yang menunjukkan adanya peninggalan hunian masa Toala, Plestosen Awal. Leang Saripah termasuk gua yang memiliki sistem yang kompleks. Di dalamnya terdapat lorong vertikal. Di sekitar mulut Leang Saripah terdapat lapisan/sedimen yang menjadi tempat temuan arkeologis tinggalan hunian periode Toala. Dari Leang Saripah banyak ditemukan barang batu dan tulang binatang. 

Leang Bulu Bettue

Pada Leang Burung 2 ditemukan benda peninggalan terutama pada ceruk panjang mengikuti orientasi tebing yang pertama kali dilaporkan oleh van Heekeren pada 1952 dan dieskavasi pada 1975 oleh I.C. Glover. Ini merupakan temuan pertama untuk situs berumur Plestosen [31 kya – 19 kya). Selanjutnya pada 2011 – 2013 eskavasi tersebut dilanjutkan oleh Prof. Adam Brumm dan timnya yang begitu serius dan darinya dapat diketahui beberapa periode hunian: manusia modern awal berusia 35 ky – 24 ky serta pada lapisan bawah berusia lebih dari 35 ky sampai dengan 100 ky dengan temuan khas alat batu dari batugamping serta gigi susu dari genus gajah (spesiesnya belum diketahui); 

Pada situs Leang Jarie yang telah dilaporkan pada 1952 oleh van Hekeeren (tetapi eskavasi baru pada 2018 – 2019 oleh Balar Makassar) lokasi temuan berbentuk ceruk sehingga cukup terbuka. Pada Leang Jarie ditemukan tiga lapisan: (1) Temuan berupa artefak batu, fragmen tembikar, tulang binatang, kerang, rangka manusia yang berumur 2,85 kya – 2,75 ky periode Neolitik; lapisan (2) dan (3) ditemukan artefak batu (Maros Point sangat penting karena menjadi penanda lapisan budaya Toala), kerang, dan tulang binatang berusia 8.060 – 7.750 tahun; lapisan ini merupakan peninggalan periode Toala. Semua situs yang dipaparkan tersebar di Maros, dan itu dianggap cukup merepresentasikan hunian manusia pra-sejarah di Maros.

Dari lapisan-lapisan tersebut di atas diketahui bahwa pada lapisan ke-1 terdapat indikasi budaya Neolitik (dibuat oleh budaya Austronesia, ada wadah-wadah, fragmen tembikar dan alat pertanian) sedangkan pada lapisan ke-2 dan ke-3 yang disebut lapisan steril tidak ditemukan tinggalan arkeologis. Lapisan steril ini adalah spasi, dan di bawahnya (lapisan ke-4) adalah lapisan manusia modern awal berusia 30.000 sd 14.000 (lapisan budaya rock art). Sangat banyak temuan di lapisan ke-4 ini—Plestosen Akhir (periode lukisan gua)—misalnya, gigi taring babi yang dipotong sebagai hiasan dan peralatan, serta bubuk oker (pewarna merah alami yang berasal dari tanah liat yang memiliki pigmen yang disebut hematit atau mineral kemerahan yang mengandung zat besi yang teroksidasi atau telah bercampur dengan oksigen) yang dalam proses pembuatannya dengan cara diserut. Keberadaannya dilihat dari temuan residu oker. Selain itu ada juga batu bergores (berwujud mirip dengan gambar anoa dan batu bergores [dari batugamping] yang bentuknya menyerupai matahari (motif matahari).  Di bawah lagi ada lapisan yang dari periode > 40.000 bp. Sekuensi tersebut, menurut Mas Basran Burhan, sangatlah penting untuk dibandingkan dengan temuan di situs-situs lainnya.

Dari temuan-temuan di atas, dibuatlah kerangka sejarah secara regional: dalam pembabakan geologi ada periode Holosen, periode Transisi (dari segi iklim ada perubahan iklim yang terjadi di fase ini), dan Plestosen Akhir. Periode awal di Maros-Pangkep, adanya budaya Austronesia (berlangsung sejak 2.500 tahun yang lalu s.d. sekarang), berikutnya budaya Toala (8.000 sd 2.500 tahun yang lalu, sebagaimana ditemukan di Leang Jarie), lalu antara Toala dan Modern Awal (13.000 – 8.000 tahun yang lalu, kurang lebih berlangsung selama 5.000 tahun. Periode manusia modern awal (44.000 – 13.000 tahun yang lalu) banyak sekali temuan di periode ini yang cukup fenomenal. Periode yang paling tua Pra-Rock Art ( > 50 kya, yang dalam konteks manusianya berasal dari archaic hominin alias pra-manusia modern. Berdasar pada temuan yang mengarah pada pembuktian hal tsb sebagaimana yang ada di Leang Burung 2), selain itu ada juga masa Transisi (13.000 sd. 8000 tahun yang lalu). 

Menutup uraiannya, Mas Basran Burhan mengingatkan kembali bahwa semua simpulan-simpulan dari penelitian yang telah diceritakannya tersebut sangat terbuka pada perubahan dan pembaruan seiring dengan temuan-temuan dan penelitian terbaru.

Banyak hal menarik yang mengemuka pada sesi diskusi dan tanya jawab, baik  pertanyaan umum yang ditujukan kepada semua narasumber maupun yang spesifik ditujukan kepada masing-masingnya, misalnya pertanyaan yang berhubungan dengan usaha perlindungan atas situs serta pertambangan yang ada di sekitar dan dalam kawasan Karst Maros, selain itu perihal masyarakat pendukung budaya gambar cadas, siapakah mereka sesungguhnya? Lalu adakah perbedaan antara karst di Jawa dengan di Sulawesi? Terkait bahan pewarna yang digunakan pada gambar cadas, adakah unsur organik untuk campuran oker? Apa saja langkah yang harus dilakukan saat penelusur gua menemukan benda peninggalan? Adakah cerita rakyat (folklor) yang berhubungan dengan hasil penelitian arkeologi dan adakah manfaat folklor bagi keberlangsungan kawasan karst? Adakah kaitan antara gambar cadas di Maros dengan penemuan peninggalan Homo Luzonensis di Filipina? Adakah ciri khusus gambar cadas di Maros bila dibandingkan dengan gambar cadas yang ditemukan di pulau-pulau lainnya di Indonesia? Dan bermacam pertanyaan lainnya yang semakin memperkaya muatan dari SpeleoTalks #2 ini.

Lebih kurang satu jam perbincangan dan diskusi dilakukan sebelum akhirnya moderator menutup acara dengan harapan diskusi yang intensif perihal peninggalan purba di kawasan karst dapat kembali dilakukan pada guliran acara selanjutnya. Informasi dan pengetahuan yang disampaikan oleh para narasumber setidaknya menjadi tambahan dasar alasan bagi kita semua untuk mencintai karst dan ekosistemnya.   

Materi para narasumber:
Gambar Cadas Tertua di Maros-Pangkep, Adhi Agus Oktaviana
Situs Arkeologi Karst Maros-Pangkep, Basran Burhan

Dukmentasi acara SpeleoTalks seri 2

Related Posts

Leave a Reply