Pendirian Pabrik Semen Akan Musnahkan Sumber Air Rakyat di Pegunungan Kendeng

Oleh Tommy Apriando (Kontributor Daerah Istimewa Yogyakarta)

Pegunungan Kendeng Utara yang hancur akibat eksploitasi pabrik semen. Foto: GERAM

Aliansi Masyarakat Peduli Pegunungan Kendheng (JMPPK) terus melakukan penolakan terhadap rencana pembangunan Pabrik Semen di Blora dan kawasan pegunungan Kendeng Utara. “Penolakan kami, adalah sebagai bentuk antisipasi. Kami tidak mau daerah yang kaya air ini rusak karena investasi yang tidak ramah lingkungan,” tambah Ken Blora pegiat Gerakan Rakyat Menggugat atau GERAM, salah satu anggota aliansi ini kepada Mongabay Indonesia.

Pegunungan Kendeng di utara Jawa Tengah ini, kini terancam eksploitasi karst atau kapur oleh para pebisnis pertambangan semen. Eksploitasi ini dilakukan di beberapa wilayah, di Kabupaten Pati eksploitasi dilakukan PT. Sahabat Mulia Sakti (PT. Indocement); di kabupaten Grobogan oleh PT. Vanda Prima Listri; di Kabupaten Rembang oleh PT. Semen Gresik dan di Kabupaten Blora oleh PT. Imasco Tambang Raya. “Penolakan JMPPK atas dasar menyelamatkan kepentingan ekologis, memastikan terpenuhinya hak atas lingkungan yang baik dan sehat dan memastikan terpenuhinya hak konstitusional masyarakat,” kata Zainal Arifin, dari LBH Semarang kepada Mongabay-Indonesia.

Aktivitas penghancuran pegunungan Kendeng. Foto: GERAM

Berdasarkan rilis yang diterima Mongabay-Indonesia dari JMPPK disebutkan, untuk wilayah Kecamatan Sukolilo dan Kayen saja, pegunungan karst Kendeng Utara ini mampu menyuplai kebutuhan air rumah tangga dan lahan pertanian seluas 15.873,9 ha di Kecamatan Sukolilo dan 9.063,232 ha di Kecamatan Kayen Kabupaten Pati.

Selain itu, di Kecamatan Tambakromo dan Kecamatan Kayen Kabupaten Pati ada sekitar 2.756 hektar lahan Perhutani yang saat ini dikelola oleh kelompok Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Sekitar 5.512 orang menggantungkan hidup pada sumber daya hutan yang ada di pegunungan Kendeng Utara.

Penolakan warga atas kehadiran pabrik semen di pegunungan Kendeng. Foto: GERAM

Ancaman terhadap keberagaman flora yaitu jenis pohon dan tumbuhan juga menjadi salah satu alasan penting. Pegunungan Kendeng Utara adalah surga bagi beragam fauna seperti bangsa burung. Pegunungan Kendeng memiliki kekayaan sekitar 45 spesies burung.

Apalagi secara legal formal, dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Nasional menyatakan bahwa kawasan karst masuk dalam areal Kawasan Lindung Nasional. Walaupun sangat kering di permukaannya, namun di bagian bawah kawasan ini banyak ditemukan sumber-sumber mata air.

Namun, Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 – 2029 mengatakan hal yang berbeda, di mana pada pasal 80 tertulis bahwa, Kawasan pertambangan mineral logam, bukan logam, batuan dan batubara terletak di Kawasan Pegunungan Kendeng Utara di Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus. “Kurangnya perhatian dari pemerintah daerah terkait pengelolaan kawasan karst yang berada di daerahnya dan pola pikir investor yang hanya mengedepankan manfaat langsung tanpa mengindahkan aspek kelestarian lingkungan jangka panjang akan sangat mempercepat kehancuran lingkungan,” kata Ken Blora.

Aksi penolakan warga terhadap pendirian pabrik semen. Foto: GERAM

Di sisi lain, kekayaan alam berupa bentang alam karst yang merupakan bahan baku utama semen menjadi incaran untuk ditambang. Pada tahun 2010, Pemerintah Jawa Tengah menyelesaikan Perda Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 – 2029. Perda itu selaras dengan instruksi Presiden SBY, yaitu Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Berdasarkan instruksi itu, hingga akhir tahun 2010 seluruh provinsi dan kabupaten/kota harus sudah menyelesaikan RTRW dan memperdayakannya.

Oleh karena itu, JMPPK intensif menolak perda RTRW ini, sejak masih berbentuk rancangan perda. JMPPK mendasarkan penolakan pada Pertama, perda ini berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sehingga menempatkan pemodal pada posisi yang kelewat strategis. Kedua, perda ini tidak mempertimbangkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan karena tidak disertai KLHS dan Naskah Akademik. Ketiga, perda ini tidak memperhatikan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan minimnya ruang partisipasi masyarakat. Keempat, perda ini mengatur Kawasan pertambangan mineral dan batubara di kawasan Pegunungan Kendeng di Kabupaten Kudus, Pati, Rembang, Blora, dan Grobogan. “Perda ini yang menetapkan kawasan Pegunungan Kendeng sebagai kawasan industri dan pertambangan. Hal ini mengancam kelestarian air yang menjadi kebutuhan pokok petani,” tutup Zainal Arifin, dari LBH Semarang kepada Mongabay Indonesia.

Sumber : Mongabay Indonesia

Related Posts

1 Response

Leave a Reply