Serbuan Semen dan Pertahanan Petani

Infografik Karst Watuputih, Kabupaten Rembang

DUA bulan lebih puluhan warga Desa Timbrangan dan Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, tinggal di tenda di pintu masuk lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia Tbk. Mereka melewatkan puasa, Lebaran, bahkan upacara peringatan Kemerdekaan Indonesia di tenda. Namun, pemerintah seperti menutup mata.

Minggu (17/8) sore, sekitar 100 warga yang menolak pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia (SI) Tbk menggelar ruwatan mata air. Warga, mayoritas perempuan, menyusuri jalan berbatu di tengah hutan jati menuju sumber air Panthiran, 400 meter dari lokasi pembangunan.

Tiga perempuan berkebaya membawa bendera Merah Putih, air, ingkung ayam, dan bambu runcing berjalan paling depan. Tembang Jawa mengiringi langkah. Tiba di lokasi, warga membersihkan mata air dan berdoa, memohon Yang Kuasa menyelamatkan lingkungan mereka.

Itulah cara warga Tegaldowo dan Timbrangan merayakan Hari Kemerdekaan Ke-69 RI. Aan Hidayah, juru bicara warga, mengatakan, ”Harapan kami, Pegunungan Kendeng Utara ’merdeka’ dari kerusakan akibat pembangunan pabrik semen serta penambangan bahan baku semen yang kini marak.”

Kekhawatiran warga soal kerusakan lingkungan beralasan. Sejak beroperasinya 10 perusahaan tambang, debit air terus turun. Penelitian Djumadi S Rama dari Yayasan Karya Alam Lestari-Rembang menyebut, debit mata air Sumber Semen yang berhulu di pegunungan gamping itu pada 1998 masih 635 liter-758 liter per detik. Namun, pada 2013, debit air tinggal 401 liter-416 liter per detik.

”Air kami keruh dan debu truk tambang yang tiap hari melintas membuat hasil tani kami berkurang. Padahal, itu tambang kecil. Bagaimana jika PT SI menambang di sini,” kata Joko Prianto (32), petani dari Desa Tegaldowo.

Kawasan konservasi
Begitu pentingnya formasi gamping dari Rembang dan Blora itu, pemerintah menetapkannya sebagai Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, di mana lebih dari 90 persennya zona imbuhan. Itu sesuai Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 2011 tentang CAT Indonesia.

Secara hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dibentuk batu gamping Formasi Paciran. Survei Badan Geologi menemukan enam goa di lokasi izin usaha penambangan (IUP) dan enam mata air di lokasi IUP serta lebih banyak lagi mata air di luar konsesi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 43/2008 tentang Air Tanah, imbuhan air tanah harus dikonservasi dan dilarang ditambang.

”Untuk menjaga kelestarian akuifer CAT Watuputih, kami merekomendasikan tak ada penambangan di sana,” kata Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono, yang menyurati Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada 1 Juli 2014 terkait hal itu.

Namun, bagi Ganjar, tuntutan warga ataupun surat tak cukup untuk menghentikan beroperasinya PT SI. ”Kalau warga tidak puas, silakan gugat ke PTUN,” katanya pada beberapa kesempatan.

Belakangan, Surono justru mendapat tekanan dari Kementerian ESDM perihal suratnya itu. ”Saya tidak dalam posisi bisa menghentikan penambangan. Kewenangan di pemerintah daerah. Tugas saya mengingatkan agar sesuai aturan,” ujarnya.

PT SI yang telah menggelontorkan dana untuk membangun pabrik tak akan begitu saja mengikuti tuntutan warga. Apalagi, menurut Direktur Utama PT SI Dwi Soetjipto, saat berkunjung ke Redaksi Kompas, Senin (21/7), PT SI memenuhi 35 perizinan yang disyaratkan.

”Studi amdal penambangan dan pembangunan pabrik memenuhi 12 tahap persyaratan,” ucap Dwi. PT SI juga mengantongi surat persetujuan prinsip pinjam pakai kawasan hutan seluas 131,87 hektar dari Menteri Kehutanan dan mendapat izin pelepasan kawasan hutan produksi tetap bagian hutan Sulang Timur untuk lokasi plant site atas nama PT SI seluas 56,8 ha.

Pemerintah Provinsi Jateng pun di belakang pabrik. Asisten III Pemprov Jateng Joko Sutrisno pada pertemuan di Semarang, Selasa (8/7), mengatakan, pabrik semen ada di kawasan budidaya. Itu dikuatkan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Rembang Hamzah Fathoni.

Namun, pernyataan ini bertentangan dengan Peta Zona Konservasi Air Tanah yang dibuat Dinas ESDM Jateng, yang menyebut lebih dari 90 persen total luas CAT Watuputih merupakan zona perlindungan imbuhan air. Perda No 6/2010 dan Perda No 14/2011 tentang RTRW Jateng dan RTRW Rembang juga menyebutkan, CAT Watuputih merupakan area konservasi.

Pengakuan bahwa lokasi tambang di zona lindung juga tertera di dokumen amdal pabrik semen. Di halaman II-10 disebut, ”Kawasan izin usaha penambangan adalah kawasan imbuhan atau resapan air tanah, tempat masuknya air saat terjadi hujan menuju akuifer yang keluar dalam bentuk mata air”.

”Anehnya, kesimpulan mereka menyatakan, area itu boleh ditambang. Jadi, ada ketidakkonsistenan dalam amdal,” kata Eko Teguh Paripurno, geolog Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Yogyakarta.

Djumadi juga menemukan amdal tak sesuai fakta. Contohnya, amdal menyebut di kawasan itu hanya ada sembilan goa. Padahal, ia menemukan setidaknya 49 goa. Empat di antaranya memiliki sungai bawah tanah.

Pertanian
Bagi warga yang mayoritas petani, ancaman terbesar penambangan adalah rusaknya sumber hidup. ”Orang desa seperti kami paling hanya jadi (anggota) satpam di pabrik. Lebih baik kami bertani di tanah sendiri,” kata Joko Prianto, Koordinator Aliansi Warga Rembang Peduli Pegunungan Kendeng.

Menurut dia, selama ini pertanian mencukupi kebutuhan hidupnya. Lahannya 5.000 meter persegi biasa ditanami padi, palawija, dan tembakau secara bergantian sepanjang tahun. Sekali panen padi biasanya sekitar 2,5 ton, yang berlebih untuk makan keluarga. Panen jagung memberi hasil bersih Rp 5 juta dan tembakau memberi laba bersih hingga Rp 30 juta.

Dari hasil pertanian itu, Joko bisa menyekolahkan anak. ”Kalau alasan pembangunan pabrik semen untuk kesejahteraan warga, kesejahteraan seperti apa lagi? Semua sumber kekayaan kami dari tanah dan sumber air berlimpah,” ungkapnya.

Ming Ming Lukarti, Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, mengatakan, Watuputih tak hanya jadi kawasan penyangga untuk desa sekitar kawasan. Sebagian air PDAM Rembang diambil dari sungai yang mata airnya dari Watuputih. ”Saya khawatir kerusakan CAT Watuputih berdampak pada ketersediaan air seluruh Rembang,” ujarnya.

Sementara kata Surono, CAT Watuputih yang hanya 32,26 kilometer persegi sebenarnya sangat sempit sehingga amat rentan terganggu penambangan. Apalagi, zona imbuhan CAT Watuputih merupakan batuan gamping dengan ekologi rapuh.

”Dalam pertemuan terakhir dengan PT SI, saya menyarankan untuk mencari lokasi lain,” kata Surono. ”Saya tidak anti tambang, tapi segalanya harus dilakukan sesuai aturan dan untuk kesejahteraan rakyat. Indonesia punya banyak kawasan gamping. Jika yang ditambang di kawasan tak berpenghuni, mungkin tidak akan memicu masalah sebesar ini.”

Konflik antara semen dan petani di Rembang bukan hanya soal petani dari desa yang menolak datangnya industrialisasi. Akan tetapi, itu mencerminkan perspektif pemerintah dalam merumuskan visi pembangunan. ”Indonesia tanpa pabrik semen tidak bakal ambruk, tapi jika tanpa pangan pasti ambruk. Kenapa tidak berterima kasih kepada petani yang mau menanam pangan,” kata Gunretno, petani yang juga tokoh muda Sedulur Sikep, yang sukses menggagalkan pembangunan pabrik semen PT Semen Gresik (sekarang bernama PT SI) di Sukolilo, Pati.

(AHMAD ARIF/HENDRIYO WIDI/MARIA HARTININGSIH)

Sumber berita dan foto: Kompas cetak 18/08/2014 hlm. 14

Related Posts

Leave a Reply