Ringkasan SpeleoTalks Potret Karst Kepulauan Aru

Resume oleh Mirza Ahmad H.

Pada #SPELEOTALKS SERI 8 hadir dua narasumber, yaitu Aziz Fardhani Jaya dan Mufti Fathul Barri. Keduanya adalah peneliti dari FWI—Forest Watch Indonesia.

Pembicaraan mengenai Potret Karst Kepulauan Aru Maluku dimoderatori oleh Mbak Tiara E. Ardi (Lawalata IPB/ISS). 

Setelah mengulas ringkas tata tertib yang perlu diindahkan oleh semua peserta, kemudian digambarkan oleh Mbak Tiara tema-tema tertentu dari berbagai lokasi yang sudah diperbincangkan pada seri-seri sebelumnya, lalu bergeser pada tema di seri ke delapan ini, yaitu kepulauan Aru. Disampaikan pula oleh moderator bahwa beberapa buku dan banyak artikel mengenai kajian atas kepulauan Aru telah diterbitkan oleh FWI—Forest Watch Indonesia.

Cerita pertama disampaikan oleh Bung Mufti Fathul Barri. Cerita bermula di tahun 2013. Ada latar belakang mendasari sehingga pada 2013 FWI ke kepulauan Aru. Mulanya dari informasi adanya ancaman dalam wujud konversi lahan yang disiapkan untuk menjadi perkebunan tebu. FWI datang membantu di sisi advokasi atas sengketa dan konflik yang kemudian secara heroik dilakukan dan dimenangkan oleh warga. Bermula dari advokasi tersebut kemudian kajian termasuk di dalamnya pendataan, pemetaan, dan penjelajahan dilakukan.

Bung Mufti Fathul Barri menyampaikan bahwa Undang-undang Pesisir mengatur batasan luasan pulau untuk dapat masuk ke dalam katagori tertentu. Di kepulauan Aru umumnya terdiri dari pulau-pulau kecil, hanya ada satu pulau yang memiliki luasan di atas 2000 km2

“Benang merah yang ditemukan oleh FWI, jika dilihat dalam peta kita mungkin akan melihat seolah ada satu daratan dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Namun jika diteliti lebih dalam nyatanya tidak demikian, di sana terdapat celah-celah yang memisahkan….” 

Lebih lanjut, Bung Mufti Fathul Barri menceritakan kondisi atau kenyataan lapangan yang unik seperti terlihat pada foto dan peta yang ditampilkan tentu menuntut perlakuan khusus atasnya. Dan kesalahan pada cara pandang berimplikasi pada kesalahan penanganan. Sesuatu yang nyatanya selat justru hanya dianggap sebagai sungai sehingga bermasalah, sangat bermasalah. Kekeliruan dalam pengibaratan terhadap kepulauan Aru disebabkan oleh kekeliruan intepretasi. Tata ruang dan fungsi kawasan yang disiapkan mengelolanya menjadi ikut salah. 

Dari paparan Bung Mufti Fathul Barri dapat termaknai bahwa kekeliruan dalam pengelolaan langsung berkaitan dan berdampak dengan kehidupan sosial masyarakat. Diceritakan betapa warga Aru sangat, dan sangat-sangat, bergantung pada sumber daya alam, termasuk di dalamnya terhadap hutan. Hal menarik lain yang disampaikan oleh Bung Mufti Fathul Barri  berkaitan dengan kondisi geografis kepulauan Aru… oleh masyarakat, angin timur dan angin barat yang ada disiasati secara adaptif berturun temurun hingga saat ini; berburu, pangkur sagu … teripang, rumput laut, mutiara dll. … selain itu dipaparkan pula bahwa pewarisan cerita dan pengalaman leluhur di Aru terjaga dan berlangsung sampai sekarang. 

Bung Mufti Fathul Barri  menuturkan bahwa di Aru tergambarkan dengan jelas sekali hubungan daratan dan lautan; hutan dan laut; hutan rusak laut rusak, laut rusak hutan rusak. Ekosistem keduanya saling terhubung. Aru merupakan karst. Saat musim kering terdapat beberapa tempat yang kekeringan. Hal itu terjadi di saat kondisi hutan di sana masih baik, tentu akan terbayangkan jika hutan rusak. Demikian papar Bung Mufti Fathul Barri.

Lalu berikutnya, Bung Aziz Fardhani Jaya mendapat giliran mempresentasikan materinya. Sebuah video diputar sebagai pengantar perbincangan. Gambaran yang indah bahkan menakjubkan. Gugusan pulau-pulau kecil berjumlah ratusan membentuk kepulauan Aru sehingga begitu unik dan sekaligus rentan. Video yang diputar juga memberi gambaran betapa masyarakat hidup bergantung pada sumber daya alam yang ada dan semua mungkin berkecukupan.

Kisah ini bermula pada 2016 saat FWI mengajak Lawalata IPB mengekplorasi kepulauan Aru. Saat itu akhirnya hanya 3-5 orang yang terlibat, berkegiatan selama lebih kurang dua minggu. 

Sistem administrasi Indonesia memasukkan Aru ke dalam Provinsi Maluku meski dari sudut pandang bioregion kepulauan Aru termasuk Papua. Sebagai contoh, Bung Aziz meminta kita sama-sama memperhatikan hewan-hewan di kepulauan Aru. Bung Aziz menyampaikan bahwa di kepulauan Aru terdapat 832 pulau dan daratan seluas 8124,99 km2 atau 812.499,6 ha. Sebagian besar pulau memiliki luas tidak sampai 5 km2 dan hanya satu di antaranya yang dapat tergolong pulau besar.

Manurut Bung Aziz, yang merujuk pada peta yang dikeluarkan oleh badan geologi, kepulauan Aru terbentuk atas batuan gamping (80%) dari batugamping formasi Koba dan formasi Manumbai yang berumur Miosen atau sekitar 23 – 5 juta tahun yang lalu dan termasuk ‘muda’. Informasi tersebut memancing pertanyaan “adakah ekosistem karst di dalamnya?” 

Lebih lanjut, Bung Aziz juga menyampaikan bahwa meskipun dari foto udara maupun peta kepulauan Aru memperlihatkan ketinggian daratan yang relatif rata, tanpa kontur yang mencolok, tiada bukit apalagi gunung, dan puncak ketinggian daratan hanya mencapai 250 mdpl, namun jika ditelusuri akan banyak ditemukan morfologi yang mengindikasikan adanya bentang alam karst, seperti bukit-bukit karst, ada yang conical, telaga karst, runtuhan gua, lembah tertutup, sinkhole, dll. Perlu diketahui bahwa akses ke Aru termasuk sulit dan berbiaya mahal. Sewa transportasi, pesawat, perahu, … kemudian akan menjadi semakin sulit lagi saat mengakses lokasi mulut gua yang berada di hulu sungai, di tengah pulau, di sisi-sisi bukit dengan bersampan dan atau dengan berjalan kaki. Mengapa tidak dengan berenang? Bung Aziz menyebutkan bahwa di sana umumnya menjadi habitat buaya sehingga riskan untuk berenang.  

Pada ekspedisi pendataan 2016 oleh FWI dan Lawalata IPB serta Australian University (1990-an), dicatat 37 buah gua. Gua-gua banyak ditemukan di sisi bukit, dengan dominasi lorong gua horizontal dengan banyak ornamen semacam stalagtit, stalagmit, sodastraw, dll. dan karstifikasi masih berlangsung. Pulau Koblor—sebagian besar gua-gua kering. 

Adapun gua-gua yang berada di sekitar tengah pulau, berlorong air dan air tawar. Ada pula keunikan yang ditemukan, yaitu gua-gua tanpa ornamen, ditemukan terutama banyak di Aru selatan. Beberapa gua dipetakan oleh tim ekspedisi. Salah satu yang dipetakan yaitu Gua Karakobi, desa Lorang, sepanjang 254,4 m. Gua itu gua terpanjang di desa Lorang. Di dalamnya hidup burung walet yang sarangnya kerap dipanen oleh warga. Ada pula sebuah gua yang memiliki/menyimpan peninggalan arkeologis (Gua Lemdubu). Bung Aziz menceritakan bahwa artefak yang saat itu dilihat oleh tim ekspedisi diketahui hanyalah replika dari artefak asli yang sudah dibawa oleh tim peneliti Australia. 

Selain gua, tim ekspedisi juga mendata mata air. Terdapat 13 mata air di tiga desa (Lorang, Papakula, Marfenfen) baik dalam bentuk sumur, telaga, dan sungai bawah tanah yang keluar dari gua.  Secara umum dapat disebutkan bahwa hubungan masyarakat dengan air, hutan, dan gua sangatlah besar. 

Deforestasi yang terjadi selama kurun 2000 – 2017 cukup banyak, terutama di bagian sisi barat. Hal menarik mengenai mangrove di Aru yang berlumpur tipis dan langsung menyentuh batuan gamping.Adapun komoditas unggulan dari Aru antara lain kopra dan hasil laut terutama ikan.

Pertanyaan dan diskusi menarik terjadi menyambung paparan dari dua narasumber. Peran aktif peserta mendapat tanggapan yang terus bergulir hingga lebih kurang setengah jam. Beberapa hal yang terdiskusikan antara lain mengenai jenis hutan, diskusi mengenai hutan dan vegetasi yang menjadi tutupan lahan, juga tipisnya kondisi tanah, serta risiko besar yang terbayang di depan mata jika konversi lahan terjadi, alih fungsi hutan menjadi perkebunan atau legal maupun illegal logging, dan tekanan lainnya yang mengancam kelestarian atau keseimbangan alam kepulauan Aru. Mengenai peran aktif masyarakat dalam upaya penggagalan pembalakan liar, penangkapan ikan secara liar, dll. juga menjadi tema yang sedikit banyak disinggung di dalam sesi ini. 

Mengenai kerentanan di kepulauan Aru juga menjadi persoalan yang disoroti dalam diskusi. Dibicarakan pula mengenai kondisi topsoil yang tipis, pulau kecil, 80% karst, dan ketersediaan air bersih. Hal lain yang mendapat garisbawah sebagai catatan adalah mengenai kepemimpinan dan kebijakan yang lahir untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. Dilihat kembali dan kemudian juga memancing tanggapan lain perihal titik tertinggi daratan di Aru yang hanya 250 mdpl. dalam kaitannya dengan kerentanan. Potensi krisis air pada pulau-pulau kecil. Arah adanya kebutuhan untuk bersama-sama membawanya ke tingkat pemerintahan. Sinkronisasi tata ruang dan fungsi kawasan. Tumpang tindih kebijakan. Tuntutan ekonomi sesaat. Banyak sumber daya potensial yang justru diabaikan oleh pemangku daerah saat berusaha membawa rencana pembangunan.   

Di akhir acara, moderator menyampaikan beberapa poin penting yang tercatat olehnya, antara lain perihal kondisi hutan di kepulauan Aru cukup rentan, 80% terdiri dari pulau kecil dan umumnya karst; peran pemerintah sangatlah penting, terutama atau mulanya, pada tata ruang yang sesuai dengan kondisi alam, sosial, dan budaya yang ada.

Materi narasumber

Dokumentasi acara

Related Posts

Leave a Reply