Catatan Kecil Dari 2nd Malaysian Cavers Gathering 2016

Foto bersama pada acara 2nd Malaysian Cavers Gathering 2016
Foto bersama pada acara 2nd Malaysian Cavers Gathering 2016 (Foto: Awan Adventure)

Sesuatu hal yang menyenangkan dapat berkumpul bersama sesama penggiat dan praktisi penelusur gua dari berbagai negara. Yang muncul dalam pikiran pertama kali adalah kesempatan besar untuk dapat bertukar pengalaman dan sharing pengetahuan. Terutama untuk mengukur sejauh mana perkembangan penelusuran gua di luar sana dibandingkan dengan kita di tanah air, selain juga sebagai langkah strategis menjalin hubungan internasional dan berjejaring.

Gathering ini diorganisir oleh AWAN Adventure, sekelompok penggiat dari negeri jiran yang bergerak dalam berbagai kegiatan luar ruang dan lingkungan. Dimotori oleh Zainul Fikri, AWAN untuk kali keduanya menyelenggarakan Malaysian Cavers Gathering ini setelah sebelumnya sempat mengadakan pertama kali pada tahun 2014 lalu. Peserta yang hadir pada event kali ini berasal dari beberapa Negara di Asia. Diantaranya, Tunisia, Taiwan, Hongkong, Jepang, Cina, Filipina, Singapura, dan tentu saja Indonesia.

Mewakili ISS (Indonesian Speleological Society), Cahyo Rahmadi, Hery Sigit Cahyadi, dan Alex M. Ali Atmadikara. Penerbangan ke negeri tetangga cukup mengundang banyak cerita dan kelucuan, mulai dari kebingungan mencari money changer, Presiden ISS yang sempat disangka TKI yang mau bekerja oleh petugas bandara di Cengkareng, salah mengambil antrian dengan Hery Sigit di bagian imigrasi yang antriannya pendek tetapi lajunya lebih lambat dibandingkan antrian sebelah, sampai sibuk keliling bandara KLIA hanya untuk mencari penjual kartu sim operator seluler local dan sinyal wi-fi demi mengunggah status di sosmed, yang akhirnya kami temukan pula di Putrajaya Sentral, tempat registerasi dan meeting point untuk seluruh peserta gathering kali ini.

Dari Indonesia juga tidak hanya kami bertiga. Ada juga Dr. Eko Haryono hadir sebagai Presiden dari AUS (Asian Union of Speleology), Pipit Wijayanti dari Geografi UGM, Mario Harley yang kebetulan juga bekerja di Malaysia, Bima Hermastho seorang Trainer manajemen dan mantan Danyon Menwa ITB, serta representatif Allsport Equipment Indonesia Achik Firmansyah. Kehadiran sesama rekan dari Negara sendiri cukup membuat kami merasa tidak sedang berada di luar negeri. Bahkan pada akhirnya cecanda dan gurau khas Indonesia cukup mewarnai event kali ini.

Taman Negara Sungai Relau, Kp. Merapoh, Kuala Lipis, Pahang. 14 Mei 2016
Dini hari di sela kantuk yang masih menempel pada kursi bis, pukul 3 pagi waktu Merapoh, lebih cepat satu jam dari Jakarta. Penetapan waktu Malaysia dan Singapore memang tidak mengacu pada letak geografis,secara geografis Malaysia semestinya sama dengan waktu Indonesia bagian barat, tetapi waktu nasionalnya sama dengan Singapura dan Hongkong, konon pertimbangannya lebih ke strategis yang mempengaruhi transaksi bisnis dan perekonomian. Setelah 5 jam perjalanan dari Puterajaya Sentral menuju Merapoh, sepanjang perjalanan tidak ada pemandangan in yang mendominasi selain bayangan pohon-pohon sawit,akhirnya kami sampai juga di Taman Negara Merapoh, tepatnya di Kuala Lipis, Pahang. Semua peserta langsung menyerbu tenda yang telah berderet disediakan panitia, masih ada beberapa suara berbincang-bincang sebelum kemudian hening disertai irama dengkuran peserta di beberapa tenda.

Hari pertama kegiatan dibuka secara resmi oleh Minister of Tourism Malaysia. Ternyata di sini pun kawasan karst memiliki ancaman yang sama dengan di Indonesia, Tambang Semen. Merapoh memiliki kandungan kapur yang cukup besar, jika dilihat dari tipikal gua dan bentang alamnya kawasan karst merapuh kemungkinan termasuk kelas 2 sampai kelas 3. Berdasarkan penuturan teman-teman dari Awan, gua di daerah Merapoh kebanyakan gua horizotal dan rata-rata fosil. Dari beberapa gua yang dimasuki pun pertumbuhan ornamennya tidak begitu signifikan. Merapoh sempat digadang menjadi wilayah operasional penambangan semen terbesar di Malaysia oleh beberapa perusahaan tambang semen di Asia. Tetapi sejak 2012, upaya perlindungan kawasan dan penolakan terhadap penambangan di Merapoh dilakukan oleh penggiat, warga sekitar, juga support dari pemerintah dengan memberikan alternatif pengembangan potensi wilayah yang lain yaitu pariwisata, yang kemudian menetapkan moratorium dan penutupan penambangan di Merapoh. Hal ini yang sempat menjadi perbincangan kami betapa sinergi antara banyak pihak terkait mempengaruhi sebuah keputusan untuk kemaslahatan bersama.

Eksplorasi pertama di Merapoh dilakukan selepas makan siang, setelah Prof. Eko Haryono memberikan Presentasi dan sambutan mewakili AUS. Gua pertama yang dikunjungi adalah Gua Panjang atau Gua Tahi Bintang. Seperti di sini, beberapa gua kadang memiliki beberapa nama. Sempat terpikir juga untuk menulis khusus tentang kajian tiponimi nama gua dan nama kawasan sekitarnya. Gua horizontal sepanjang lebih kurang 400 meter ini memiliki chamber utama yang cukup besar dan beberapa junction yang atapnya lebih rendah dengan sedikit bahkan nyaris tanpa ornamen di atapnya, wajar mengingat posisi gua yang atasnya tebing . Panitia dari Awan sebelumnya telah memberikan deskripsi mengenai gua-gua di Merapoh. Peserta, beberapa ternyata belum pernah sama sekali masuk ke gua. Diantaranya peserta dari Hongkong dan Singapura. Seperti halnya Soman Choi dan Thomas chua sejatinya seorang Tree Climber. Mereka tertarik mengikuti event ini karena penasaran dengan aktivitas caving dan teknik penelusuran gua.

Di salah satu chamber, sesuai dengan pekerjaannya sebagai biospeleologist, presiden ISS Cahyo Rahmadi terlihat asyik membolak-balik batu, saya mendekatinya dan ternyata beberapa mahluk kecil kelihatan, nyaris tak kasat saking kecil dan transparan. Saya mencoba mengambil gambar mahluk yang ditunjuk beliau, tetapi gerakannya sangat cepat. Yang tertangkap oleh lensa Ricoh WG-4 saya malah salah seekor pseudoscorpiones kecil. Beberapa stygophrynus atau Ambylpygi, kalajengking, isopoda, diplopoda dan beberapa lainnya hadir di dinding gua panjang. Saya mengambil gambarnya beberapa untuk diadikan bahan presentasi beliau di malam hari.

Presentasi Malam mengenai biodiversity dan peran sinergi jejaring organisasi speleologi terhadap kelestarian lingkungan dan kawasan karst di dunia oleh Presiden ISS Cahyo Rahmadi, dilanjutkan oleh materi cave survey oleh Sinichi Miju dari Compass Caving Unit Jepang. Miju menyuguh pemodelan tiga dimensi untuk memetakan sebuah gua. Mungkin materinya sendiri boleh dibilang basic cave survey, tetapi idenya membuat tampilan peraga maket ruang tiga dimensi gua masih jarang dan mungkin belum pernah ada yang membuatnya. Ini yang menarik. Saya yakin teman- teman di Indonesia banyak yang juga mampu membuatnya, menjadikannya sebagai media belajar untuk dibagi pada banyak orang. Setelah dua presentasi malam itu peserta dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama rencananya akan memasuki gua teknikal atau vertikal dan kelompok kedua akan memasuki gua non teknik alias horisontal basah untuk keesokan harinya.

Trekking, trekking, trekking Gua Padang Kawad dan Gua Tagang, 15-16 Mei 2016
Jarak dari basecamp ke gua gua tujuan lumayan jauh. Semua lokasi dicapai dengan menggunakan pickup. Selain pohon sawit yang mendominasi pemandangan selama perjalanan adalah jalan yang lengang dengan kanan kiri belukar, serta rumah-rumah panggung yang berjarak satu sama lain. Mirip daerah-daerah transmigrasi atau perkampungan di Kalimantan. Tanah kapur yang gersang dan beberapa tanda kepemilikan tanah oleh sendirian berhad (sdn bhd) yang mangkrak karena tidak jadi ditambang. Seperti kebanyakan di daerah karst udara yang panas dengan kelembaban tinggi membuat kami mudah haus.

Yang menarik jalur menuju Gua Padang Kawat dan Gua Tagang harus ditempuh dengan berjalan kaki lepas dari terakhir pickup menurunkan kami. Gua Padang Kawad tipikal vadose stream. Entrance-nya berupa outlet sungai bawah tanah dengan debit relative kecil. Lubang yang kecil dan harus dilalui dengan cara crawling dan ducking. Beberapa tempat harus dilalui dengan memanjat dan chimneying. Gua Padang Kawad minim ornamen dikarenakan batuan kapurnya kontak dengan batuan keras, didominasi bentukan sungai bawah tanah dengan atap sempit dan melihat dari bentukan permukaan dindingnya banyak deformasi lipatan batuan antiklin, terlihat dari lipatan2 batuan yang melengkung ke atas. Prof. Eko Haryono sekilas memberikan interpretasi geomorfologi di sini. Gua sepanjang 900 meter ini berujung tembus di hulu air masuk ke dalam gua. Cukup beresiko jika ditelusuri pada musim hujan dengan curah tinggi.

Memang yang menarik di Gua Padang Kawad adalah jalur trekking yang menantang, tumbuhan yang rapat menyusuri jalur sungai yang dangkal, lorong gua yang variatif dan aktivitas berbasah-basah melompati kolaman di sepanjang lorong perjalanan pulang ke luar gua. Tapi pada dasarnya Semua peserta tampaknya memang menyukai air, hampir setiap sore kami berenang di sungai Relau yang dekat dengan basecamp kami. Ada Akiko Ako peserta perempuan dari Jepang yang juga ternyata seorang Cave Diver. Ada Eric Bontuyan Presiden Philipine Speleological Society yang juga seorang cave diver.

Lain Gua Padang Kawad, lain pula Gua Tagang. Entrance Gua Tagang terletak di atas bukit. Selain harus trekking menuju ke mulutnya, jalur Gua Tagang juga cukup teknikal. Setelah berjalan mendaki bukit sekitar setengah jam, kami harus melewati tebing yang curam dan tipis yang mengharuskan peserta traversing menggunakan lanyard di lintasan. Untunglah kawan2 dari SIG cukup cekatan membantu dan sudah memasang tali pada lintasan. Ternyata itu sebabnya kami diminta sudah memasang instalasi srt set kami sejak turun dari pickup.

Pada pitch pertama kami menuruni slope sedalam 40 meter, sampai chamber yang cukup besar dengan atap gua yang tinggi. Seekor ular hijau tampak meluncur dari dinding luar menuju kami. Zainul menangkapnya dan melepaskannya kembali setelah diketahui tidak berbisa. Jalan keluar Gua Tagang berupa celah tebing setinggi kurang lebih 30 meter. Kami sadari banyak teknik yang belum standar yang digunakan oleh beberapa peserta. Beberapa kemudian berdiskusi tentang penggunaan alat dan alat yang layak digunakan dalam kegiatan penelusuran gua dan sejenisnya. Sampai kembali ke basecamp, ini masih menjadi bahan pembicaraan dengan beberapa peserta lain.

Beberapa sore yang menarik di sela istirahat kami habiskan dengan jalan-jalan berbelanja di pasar kaget. Tidak jauh dengan pasar kaget di Indonesia, berbagai jenis makanan dan barang-barang kebutuhan harian sampai pakaian dijual di sana. Dengan harga yang tidak begitu jauh dengan di Indonesia, saya pikir malah relatif murah dibandingkan dengan harus jajan di Jakarta. Satu kantung plastik pisang goreng dengan harga 2 ringgit (kurang lebih enam ribu rupiah)terhitung cukup banyak. Ya, sepertinya susah menjaga berat badan di sini. Bayangkan menu makan peserta dalam satu hari saja sudah enam kali makan (breakfast, brunch, lunch, breaktime, dinner, supper). Sepertinya panitia memang berencana membuat kami pulang ke tempat masing-masing dengan berat badan bertambah.

The sharing, understanding, rewarding, and regarding…
Hari terakhir sebetulnya panitia memberikan kesempatan untuk eksplorasi satu gua lagi, tetapi beberapa dari kami lebih memilih bersiap-siap mengepak barang masing-masing. Hanya beberapa peserta yang berangkat ke gua berikutnya. Akhirnya di sela jeda waktu menunggu makan siang dan penutupan, secara incidental kami sepakat untuk berbagi teknik. Terutama teknik cave rescue yang dapat dilakukan secara personal. Ini yang jadi bahan evaluasi kami untuk panitia. Seandainya dari hari pertama tali disiapkan di basecamp kemungkinan ruang berkumpul untuk sharing dan berbagi lebih banyak. Terutama jeda waktu dan waktu luang cukup banyak.

Alex Ali Atmadikara berbagi pengetahuan tentang teknik Cave Rescue (Foto: Cahyo Rahmadi)
Alex Ali Atmadikara berbagi pengetahuan tentang teknik Cave Rescue (Foto: Cahyo Rahmadi)

Setelah makan siang, pengumuman lomba foto selama kegiatan, dan penutupan secara resmi oleh pejabat setempat. Semua peserta kembali ke Puterajaya Sentral. Perjalanan pulang yang membosankan, sepanjang jalan dihibur pemandangan pohon sawit. Melihat negeri tetangga dari dekat dari balik kaca bis. Rumah-rumah panggung seperti di film kartun Ipin Upin berlarian, berjarak dengan kenangan.

Saya membayangkan negeri sendiri. Sepanjang saya menyusuri negeri sendiri di Jawa, tak pernah bosan menyaksikan pemandangan sepanjang jalan. Gunung-gunung, sawah, sungai dan sebagainya. Masih banyak yang bisa dilihat dan nyaman di mata. Saya membayangkan kawasan karst di negeri sendiri. Membayangkan ancaman nyata yang dihadapinya. Membayangkan keberlangsungannya, masyarakatnya. Membayangkan tempat bermain kita, berkesplorasi suatu saat hilang karena tak ada yang menjaganya. Membayangkan peran yang sudah dan sedang dijalankan sebagai manusia yang bersentuhan dengan kawasan karst. Sejauh mana kita berkomunikasi dengan alam, sejauh mana interaksi kita dapat dikategorikan menerima dan memberi. Banyak yang saya pikirkan selama perjalanan. Kumpulan ini, orang-orang ini, mereka yang meluangkan waktunya hanya untuk bercengkrama dengan batuan, jejaring ini, hubungan emosional yang dibangun berdasarkan kesamaan minat dan visi. Sinergi yang berangkat dari kepentingan bersama. Saya percaya the law of attraction, semua akan berkumpul dalam irama dan gelombang yang sama. Demikian juga pemikiran, kepedulian dan aksi. Semuanya akan bertemu atau dipertemukan dikarenakan medan magnet yang sesuai.

ISS bagi saya adalah medan magnet itu. Ia yang mempertemukan saya dengan orang-orang hebat. Mempertemukan dengan kesempatan-kesempatan untuk mengoptimalkan potensi setiap anggotanya. Hubungan internasional ini mungkin juga sebagai salahsatu modulasi frekuensi bahasa yang sama yang membicarakan speleologi dalam kontribusinya dalam keberlangsungan dan perlindungan terhadap lingkungan. Karst khususnya.

Sungguh pembelajaran yang luar biasa melihat teman-teman Malaysia. di sana tidak seperti di sini yang penggiat dan klub organisasi penelusur gua atau speleologinya menjamur di berbagai daerah, di setiap divisi kegiatan organisasi kepecintaalaman di kampus-kampus besar. Tetapi antusiasme dan semangat mereka untuk bersinergi sangat tinggi. Dengan SDM yang terbatas,mereka sangat percaya diri dan mampu menyelenggarakan event seperti ini. Secara tidak langsung dalam benak saya, Indonesia dengan jumlah pelaku, penggiat, praktisi, pemerhati, aktifis, dan peneliti, klub, organisasi dan federasi yang bergerak di bidang speleologi dan penelusuran gua yang sedemikian kayanya harusnya lebih mampu bersinergi dan percaya diri untuk go internasional.

 

Alex Ali Atmadikara
Pernah menjadi guru di SMA, outdoor trainer dan praktisi Experiential Learning, pemerhati karst dan penggiat speleologi. Sekarang menjabat sebagi Ketua Bidang Diklat Indonesian Speleological Society

1 Response

Leave a Reply