Ringkasan SpeleoTalks Cerita Dari Maluku Utara

Resume oleh Mirza Ahmad H.

Setelah enam kali menggulirkan kegiatan SpeleoTalks yang membahas bermacam tema serta menghadirkan para ahli dan pelaku di bidang-bidang yang berkaitan dengan speleologi, pada hari Minggu, 5 Juli 2020, Indonesian Speleological Society menggelar SpeleoTalks #7 yang membahas gua arkeologis dan hunian purba dengan tajuk “Cerita dari Maluku Utara”.

Pada “Cerita dari Maluku Utara” terbahas perihal gua arkeologis dan hunian purba (Archaeological cave & rockshelter) yang didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Shimona Kealy (Postdoctoral researcher dari College of Asia & the Pacific, Australian National University) dan Hendri A. F. Kaharudin (Research Assistant, Australian National University). Dimoderatori oleh Adhi Agus Oktaviana (Puslit Arkenas/Anggota ISS), acara ini berlangsung lancar sejak permulaan sampai dengan akhir selama lebih kurang 90 menit.

Di mula paparannya Mbak Shimona Kealy menjelaskan posisi geografis lokasi penelitiannya. Begitu jauh perjalanan yang telah ditempuh olehnya untuk bisa sampai di Pulau Obi dan Pulau Bisa di Maluku Utara. Menurutnya, pulau-pulau yang bertebaran di antara paparan Sunda dan Sahul sejak dahulu tidak pernah tersambung dengan daratan. Selanjutnya ia juga mengemukakan bahwa A. R. Wallace menjadi tokoh yang perlu disebut namanya, terutama dalam kaitannya dengan penelitian persebaran fauna dan tumbuhan di selat yang dalam antara Sulawesi dan Kalimantan, juga antara Lombok dan Bali. Melalui peta yang ditampilkan oleh narasumber dapat diperoleh gambaran mengenai areal yang dijelajahi oleh A.R. Wallace dari barat ke timur sehingga kemudian istilah Wallacea dikenal sebagai area transisi biogeografi. Fakta geografis menunjukkan bahwa manusia perlu menyeberangi lautan untuk dapat sampai di Australia.

Mbak Shimona menerangkan bahwa situs arkeologi tertua di Australia, Madjedbebe, mengungkap penanggalan hunian berusia 53.000 – 65.000 tahun yang lalu. Madjedbebe merupakan situs purba berwujud tempat perlindungan batu di Wilayah Utara Australia. Terletak sekitar 50 kilometer (31 mil) dari pantai dan disebut sebagai tempat hunian manusia purba di Australia. Terkait usia penanggalan hunian purba di situs Madjedbebe menimbulkan kontroversi karena hunian purba di situs tua lainnya hanya berusia ca. 50.000. Penelitian di Obi dan Bisa antara lain bertujuan untuk mencari bukti-bukti sebagai jawaban sehubungan dengan hunian purba yang lebih tua usianya. Dan selama bukti hunian purba yang lebih tua belum ditemukan maka keberadaan situs Madjedbebe menjadi bukti tidak langsung terkait penyeberangan maritim paling awal oleh manusia di dunia.

Kajian pra-sejarah terhadap paparan Sunda dan Sahul terkait hubungan Melanesia dan Australia perlu dikemukakan. Mbak Shimona menyebut nama Joseph Birdsell (1977) yang mengajukan teori dua rute perjalanan yang mungkin ditempuh pada zaman dahulu kala, yaitu 1) jalur utara: dari Kalimantan menyeberang ke Sulawesi kemudian ke Maluku Utara, Halmahera, dan menyeberang ke Papua serta Australia; 2) jalur selatan: antara lain melintasi Sumatra, masuk ke Jawa, ke Sunda Kecil, ke Papua, dan Australia.

Penelitian yang diorganisasi oleh Australian Research Council meliputi berbagai disiplin ilmu dengan beberapa lembaga yang terlibat di dalamnya, antara lain: ANU, Univ. Wollongong, Arkenas, dan UGM. Adapun survei dimulai pada April 2019. Untuk mencapai lokasi penelitian, tim memulainya dari Ternate dengan menggunakan kapal boat dan kendaraan bermotor, hingga berjalan kaki menembus hutan rimba.

Paparan selanjutnya disampaikan oleh Mas Hendri A. F. Kaharudin. Ia berbagi cerita ihwal teknik survei. Disampaikan olehnya bahwa survei speleologi dan arkeologi memiliki persamaan dan perbedaan sekaligus. Pada 2013 untuk pertama kalinya Mas Hendri A. F. Kaharudin melakukan survei arkeologis. Lokasi pertama penelitiannya berada di Alas Purwo. Di sana ditemukan banyak gua. Selain terminologi ‘gua’ ada pula ‘ceruk’, demikian salah satu hal yang menurutnya perlu digarisbawahi. Keduanya berpotensi sebagai lokasi hunian purba.

Mas Hendri memaparkan bahwa pada tahap pertama survei, langkah pertama umumnya dimulai dengan membuka peta dan kemudian berfokus pada wilayah yang memiliki gamping (limestones) agar lebih mengerucutkan area, kemudian memerhatikan kontur dan bentukan alam serta (dan terutama) bertanya kepada warga yang tinggal di sekitar lokasi. Kepada warga, seorang peneliti dapat menanyakan secara spesifik jenis atau karakter gua yang ingin ditemukan olehnya atau cocok dengan keperluan penelitian. Komunikasi dengan penduduk tempatan perlu dilakukan secara mendalam agar apa yang diinginkan oleh peneliti dapat secara spesifik ditemukan. Mas Hendri memiliki pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan kerepotan yang lahir dari salah paham dalam berkomunikasi, salah satunya perihal pemaknaan atas jarak. Sesuatu yang disebut ‘dekat’ dan ‘jauh’ sering kali mengalami pergeseran.

Mas Hendri A. F. Kaharudin kemudian lebih jauh berbagi cerita tentang pengalamannya melakukan penelitian lapangan. Sering kali peneliti menemukan bermacam ketidak-terdugaan. Hal tersebut akhirnya berhubungan dengan persediaan makanan dan minuman yang menjadi bagian dari perbekalan. Fitur apa sajakah yang cocok untuk dijadikan lokasi penelitian? Tidak perlu gua yang berlorong dalam, cukup ceruk yang secara logis cocok untuk berteduh dan juga sering kali sebagai lokasi menguburkan jenazah keluarga yang meninggal. Beberapa ilustrasi di Alor dan Flores menjadi contoh yang dikemukakan olehnya. Selain perihal luasan gua, fitur penting lainnya yaitu ihwal pencahayaan. Ini penting karena umumnya manusia tidak menyenangi kegelapan. Keberadaan lukisan gua, atau ukiran pada bebatuan di dinding, atau terdapatnya permakaman dapat menjadi indikasi awal untuk dilakukannya penggalian. Hal lainnya yang disebutkan oleh Mas Hendri adalah keberadaan pepohonan besar di sekitar ceruk dan gua yang mungkin akar-akarnya mengganggu sedimentasi. Selain itu yang juga menjadi perhatian peneliti adalah kemungkinan erosi yang terjadi. Hal tersebut dimungkinkan antara lain karena lantai gua yang memiliki derajat kemiringan tinggi (slope) termasuk lokasi yang terlalu dekat dengan pantai. Lokasi penggalian biasanya dilakukan pada lokasi yang paling dalam. Pada fase awal, peneliti biasanya melakukan penggalian arkeologi yang cukup jauh dari dinding gua atau cenderung di bagian tengah lorong. Mas Hendri menambahkan bahwa gua yang mungkin menarik untuk survei speleologi belum tentu menarik dari segi arkeologi.

Melanjutkan paparannya, Mas Hendri A. F. Kaharudin menyampaikan bahwa selain melihat kondisi gua/ceruk yang layak untuk hunian, peneliti juga dapat mempertimbangkan temuan-temuan/peninggalan arkeologis di permukaan sebelum melakukan penggalian, misalnya kerang, tulang, alat batu, juga peluru (yang mungkin berkaitan dengan arkeologi zaman kolonial). Khusus mengenai tulang, peneliti dapat mempertimbangkan warna dari tulang yang cenderung biru atau hangus akibat proses pembakaran yang berkaitan dengan aktivitas manusia. Hal tersebut dibedakan dengan tulang belulang yang menjadi bagian dari feses burung hantu.

Paparan selanjutnya disampaikan oleh Mbak Shimona Kealy. Ia bercerita perihal penelitian arkeologi yang bertujuan menemukan lokasi hunian purba di gua dan ceruk sebagai sebuah aktivitas penuh tantangan mengingat betapa sulitnya usaha menemukan gua yang “sempurna”, yaitu gua yang memiliki beragam fitur yang diperlukan untuk menjadikannya penting.

Mbak Shimona Kealy mengingatkan bahwa tidak ditemukannya peninggalan arkeologis pada sebuah gua tertentu bukan berarti gua tersebut otomatis dianggap tidak pernah dimanfaatkan sebagai hunian. Baginya perlu diingat pula bahwa tidak berarti manusia purba tidak pernah menggunakan gua-gua yang tidak terlihat sebagai tempat berteduh di masa lalu.

Pada survei mereka di Obi dan Bisa pada tahun 2019 berhasil ditemukan dua situs rockshelter yang berbeda dan berlokasi di dekat desa Talos. Gambar yang ditampilkan pada slide presentasi menunjukkan sejumlah titik-titik merah yang menunjukkan lokasi berbagai situs yang ditemukan. Lebih lanjut, Mbak Shimona Kealy menyampaikan betapa survei yang dilakukan memiliki beberapa tingkat potensi arkeologi.

Sebagaimana dipaparkan oleh Mbak Shimona Kealy, ia dan timnya melakukan penggalian dengan ukuran 1m x 1m dan menurut pemaparannya ukuran tersebut cukup lazim bagi pengujian penggalian awal dalam arkeologi. Selanjutnya jika dari sana ditemukan indikasi yang menggembirakan maka penggalian dapat diperluas maupun diperdalam.

Kemudian foto-foto aktivitas lapangan ditayangkan untuk mengilustrasikan kondisi lokasi yang dipilih. “Di sinilah tempat perlindungan yang dijadikan hunian dan khususnya bisa dilihat di sini?” ujar Mbak Shimona sambil menggerakkan kursor pada suatu titik tertentu di dalam gambar yang ditayangkan. “Ini adalah gua yang sangat besar dan berada di lembah di mana kami memiliki tempat perlindungan yang baik dan juga terdapat sejumlah besar artefak ditemukan di permukaan. Dan ini adalah gambar lokasi kedua yang kami gali. Meski lokasi ini kurang potensial tetapi terdapat temuan-temuan yang cukup menarik di permukaan. Dan hal itulah yang mendorong kami untuk mengekskavasi. Namun nyatanya tidak berjalan seperti penggalian utama yang kami lakukan sebelumnya.”

Ekskavasi awal dilakukan di desa Kelo (Pulau Obi). Sejumlah penggalian dilakukan di beberapa titik: 17 titik di Kelo 2, 25 titik di Kelo 6, dan 38 titik di Sesope Besar. Keputusan melakukan penggalian berkaitan dengan potensi yang terlihat dari beberapa indikasi sebagaimana yang sebelumnya dijelaskan oleh Mas Hendri A. F. Kaharudin.

Beberapa temuan menunjukkan jejak hunian purba berusia ca. 18.000 tahun yang lalu. Salah satunya dari kapak batu dan kerang tertua (yang telah diketahui) di region Indonesia Timur, bukti ekstensif adanya perburuan kuskus, serta manik-manik yang terbuat dari kerang dan tulang belakang hiu.

Kisah yang dituturkan oleh banyak orang yang tentang Pulau Obi menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun sebelum mereka yang benar-benar tertarik untuk menemukan bukti yang menunjukkan keberadaan situs arkeologi, termasuk di dalam catatan-catatan. Mbak Shimona kemudian menceritakan betapa menarik mendengarkan sejarah lisan dari orang-orang yang diajaknya berbincang di sekitar Obi dan Bisa. Mereka umumnya mengatakan bahwa mereka baru menempati Obi dan Bisa selama tujuh generasi. Mereka semua berasal dari Halmahera atau Bacan, atau Sulawesi. Hal itu terlihat pula dalam ragam bahasa yang mereka gunakan. Selain itu, menurut paparan Mbak Shimona, semua orang yang bercerita tentang kedatangannya ke Obi mengatakan bahwa tidak ada seorang pun di Obi ketika mereka datang untuk menemukan bukti yang kredibel yang menunjukkan bahwa orang-orang di sana pasti ada sebelum tujuh generasi yang lalu.

Boleh jadi sesuatu telah terjadi pada mereka, dan hal itulah yang menjadi sebab tidak ditemukannya seorang pun di sana ketika 7 generasi yang lalu orang-orang datang atau mungkin juga populasi mereka berkurang drastis karena sebab tertentu sehingga mereka tidak ada di sana. Hal tersebut masih menjadi pertanyaan dan jika dikaitkan dengan khazanah sejarah lisan yang ada pun belum diperoleh jawaban yang memuaskan, paling jauh berkisar pada 18.000 tahun yang lalu. Kurun tersebut masih jauh lebih muda dari keberadaan situs di Madjedbebe yang berumur 50.000 tahun yang lalu, sehingga kami masih harus terus mencari.”

Lebih lanjut, Mbak Shimona menyebutkan bahwa sejumlah besar tulang dan perkakas batu yang ditemukan cukup bisa menjadi temuan menarik yang dapat digunakan untuk kajian selanjutnya. Meski demikian temuan arkeologis yang ada di Obi dan Bisa menunjukkan bahwa manusia pernah tinggal di sana sekitar 18.000 tahun yang lalu. Penelitian lanjutan masih menarik untuk kembali dilakukan di sana, terus ke arah utara maupun ke selatan. Ia dan timnya memang sudah membuat rencana yang tahun depan mungkin dapat dilaksanakan.

Mengakhiri cerita yang disampaikannya, Mbak Shimona berterima kasih kepada seluruh tim yang terlibat dalam penelitian sekaligus kepada para peserta SpeleoTalks yang telah dengan sabar mendengarkan paparannya.

Setelah berakhirnya sesi pemaparan kemudian moderator membuka kesempatan kepada para peserta untuk mengajukan pertanyaan, komentar, dan tanggapannya. Beberapa pertanyaan yang telah masuk ke dalam kolom percakapan dibacakan oleh Mas Adhi Agus Oktaviana. Salah satunya berkaitan dengan “apakah ada pengaruh iklim dan cuaca dalam soal hunian purba. Di dalam kawasan tropis mungkin berada di mulut gua dan ceruk, tetapi apakah di wilayah subtropis ada kecenderungan berbeda? Respon pertama disampaikan oleh Mas Hendri. Menurutnya, umumnya sama dan tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Areal mulut gua dan ceruk menjadi tempat favorit untuk hunian. Jawaban tersebut didasarkan pada tinjauan di Indonesia maupun Australia, adapun di wilayah Kutub tidak terdapat informasi.

Pertanyaan lain dating dari Mas Imron. Ia mengajukan pertanyaan perihal keberadaan/akses terhadap sumber air/sungai dalam hal penentuan selter batu dan hunian purba pada ceruk dan gua arkeologi. Jawab: air penting untuk hidup. Meski demikian sangat mungkin adanya perubahan lanskap yang membuat situasi berbeda ribuan tahun yang lalu dengan saat ini; dan sering kali tidak banyak pilihan, beruntung jika berlokasi di dekat sumber air: sungai atau pantai. Ditambahkan oleh moderator: menurutnya, dengan menyebut beberapa situs gua arkeologi di Liang Bua dan Gua Harimau sebagai contoh, keberadaan sumber air dinilai penting. Berbagai pertanyaan lainnya pun tidak kalah menarik untuk disimak, antara lain pertanyaan mengenai “Bagaimana bisa sehingga bulu babi yang terkesan lunak masih dapat ditemukan meski berumur sudah ribuan tahun?” atau “Apakah ditemukan lukisan gua/gambar cadas yang menunjukkan aktivitas pemburuan fauna laut?” dan lain sebagainya.

Materi presentasi

Archeological cave & rockshelter survey of Obi & Bisa Island Maluku Utara

Dokumentasi acara

Related Posts

Leave a Reply