Hutan Adat Sarolangun Terancam

Meskipun angin segar bagi masyarakat untuk mengelola hutan mulai berhembus, namun kekhawatiran masih saja menghantui masyarakat dengan kehadiran HTI maupun perkebunan berskala besar yang akan berdampak pada masyarakat sekitar.

Seperti yang dialami masyarakat Desa Berkun Kecamatan Limun yang sejak setahun lalu mengajukan surat penolakan terhadap rencana izin IUPHHK HTI PT Gading Karya Makmur dan PT Hijau Artha Nusa.

Kepala Desa Berkun Paisal menyebutkan ada beberapa alasan mereka menolak kehadiran HTI di desanya. Pasalnya sebelum areal rencana izin IUPHHK HTI PT Gading Karya Makmur, areal tersebut merupakan hak kelola masyarakat sejak lama dan terdapat kebun-kebun karet milik mereka. “Disano, ado kebun-kebun karet kami, dan terdapat juga tanaman-tanaman buah serta kuburankuburan lamo tempat nenek bunyut kami,” sebutnya.

Dia juga menambahkan kehadiran HTI tersebut juga berdampak buruk pada Hutan Adat Bathin Betuah seluas 98 hektar yang telah ditetapkan dalam SK Bupati Sarolangun Nomor 206 tahun 2010.

“Hutan adat kami terancam, padahal keberadaan hutan adat ini untuk kepentingan masyarakat guna melinungi hulu air untuk irigasi areal sawah dan sumber air bersih,” ungkapnya.

Untuk diketahui, PT HAN yang sudah mendapatkan izin di Lubuk Bedorong dan PT GKM, saat sedang dalam proses. Di areal tersebut tercatat ada sebelas hutan adat yang sudah diakui pemerintah, yakni hutan adat Pengulu Laleh (128 ha), hutan adat Rio Peniti (313 ha), hutan adat Pengulu Patwa (295 ha), hutan adat Pengulu Sati (100 ha), hutan adat Rimbo Larangan (18 ha), hutan adat Bhatin Batuah (98 ha), hutan adat Paduka Rajo (80 ha), hutan adat Datuk Menti Sati (78 ha), hutan adat Datuk Menti (48 ha), hutan adat Imbo Pseko (140 ha), dan hutan adat Imbo Lembago (70 ha).

Warsi menilai, jika areal hutan adat tersebut tidak segera dikeluarkan dari rencana izin dua HTI tersebut, maka ini akan menambah daftar panjang konflik pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Jambi. “Sebaiknya kawasan hutan adat yang masuk dalam areal izin HTI dikeluarkan saja. Jika tidak ini akan memicu konflik,” sebut Rakhmat.

Tidak hanya kehadiran dua HTI Itu, kawasan karst Bukit Bulan, Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun, juga terancam akan kehadiran tambang dan pabrik semen. Pembukaan areal tambang untuk produksi semen pada tahap awal ini akan dilakukan pada areal seluas 5.000 hektar yang mencakup lima desa: Napal Melintang, Mersip, Merbung, Berkun dan Renah Alai. Jika rencana ini terealisasi pastinya bentangan alam karst yang berbukitbukit yang merupakan hamparan Bukit Barisan Sumatera Bukit Bulan yang dilindungi pemerintah melalui peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 sebagai kawasan geologi unik dan rentan akan terancam rusak. Sementara itu, ada lebih dari 100 goa beraliran sungai bawah tanah aktif serta tujuh mata air untuk pengairan sawah dan keperluan rumah tangga. Padahal pemerintah kabupaten Sarolangun menetapkan Bukit Bulan sebagai kawasan hulu lindung yang hanya boleh untuk pertanian tradisional dan pariwisata alam. Tertuang dalam peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2004 yang masih berlaku.

Ketidaktegasan sikap pemerintah terlihat dengan terus melenggangnya perlahan namun pasti sosialisasi analisis dampak lingkungan sebuah perusahaan tambang yang akan memproduksi seman digelar baru-baru ini.

Berpacu Hak Kelola Masyarakat

Meskipun berbagai persoalan pengelolaan sumber daya alam terus gencar di Kabupaten Sarolangun. Akan tetapi ini tidak menyurutkan langkah Dinas Perkebunan dan Kehutanan Sarolangun menunjukkan komitmen pro rakyat. Terbukti saat ini Dinas Pekebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun sedang mengajukan permohonan izin areal kerja hutan desa dengan luasan mencapai 57.462,50 hektar.Angka ini merupakan sekitar 23 persen dari luas keseluruhan kawasan hutan di Kabupaten Sarolangun yang berjumlah 252.377,81 hektar. Usulan hutan desa tersebut dengan rincian tiga desa di Kecamatan Limun yaitu, Desa Lubuk Bedorong, Desa Berkun, dan Desa Napal Melintang dengan total luasan 21.787 hektar. Sementara itu di Kecamatan Batang Asai, ada enam desa yang juga dalam proses pengajuan permohonan izin areal kerja hutan desa seluas 35.675,50 hektar berada di Desa Batin Pengambangan, Desa Tambak Ratu, Desa Muara Air Dua, Desa Sungai Keradah, Desa Simpang Narso dan dan Desa Batu Empang.

Ini disampaikan, Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun melalui Kepala Bidang Penataan Kawasan Hutan Muhammad Wahyudi dalam Lokakarya MenggaliAspirasi, Menyatukan Persepsi dan Aksi untuk Mengimplementasikan Skema-Skema Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat di Kabupaten Sarolangun yang digagas KKI Warsi bekerjasama dengan Disbunhut Kabupaten Sarolangun. “Kita sudah mengimplementasikan kebijakan strategis pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Saat ini tercatat ada sekitar 57.462,50 hektar yang akan diusulkan menjadi hutan desa. Sementara di Sarolangun juga ada 18.840 hektar dalam skema hutan tanaman rakyat (HTR), dan ada juga hutan kemasyarakatan di Kecamatan Mandiangin,” paparnya.

Ditambahkan Wahyudi di Kabupaten Sarolangun, masyarakat telah lebih dulu mempraktekkan skema pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat melali hutan adat. Saat ini kawasan hutan adat yang tersebar di lima desa di Kecamatan Limun telah dikuatkan dengan Keputusan Bupati Nomor 206 tahun 2010 tentang pengukuhan kawasan Hutan Adat Bukit Bulan dengan total luasan 1.368 hektar.

Dari berbagai proses fasilitasi yang dilakukan, Rakhmat Hidayat Direktur KKI Warsi menyampaikan beberapa peluang dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. PHBM menjadi program strategis kementerian kehutanan serta adanya dukungan anggaran pemerintah pusat yang memadai merupakan salah satu peluang dalam pengembangan PHBM. Ditambah lagi adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2013 tentang hutan adat juga membuka lebar pintu PHBM itu sendiri. Namun demikian, pengusulan PHBM ini juga masih belum semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai tantangan menjadikan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan tak berjalan mulus. Informasi regulasi skema PHBM belum merata ditambah lagi belum terintegrasi dengan baik dukungan fasilitasi, anggaran dan program dari pemerintah membuat terseoknya program PHBM.

“Dari pengalaman kawan-kawan di lapangan, ada banyak tantangan yang dihadapi diantaranya dinamika sosial di masyarakat, ketidakjelasan batas wilayah desa, belum lagi tekanan terhadap kawasan hutan membuat sulit proses pengusulan,” katanya.

Terkait dengan proses birokrasi yang panjang dan berbelit, Prof San Afri Awang Staff Ahli Menteri Kehutanan Bidang Hubungan Antar Lembaga menegaskan bahwa di kementerian kehutanan akan langsung memproses setiap usulan yang masuk. “Kami ini posisinya menunggu bola, jika usulannya semua sudah lengkap verifikasi sudah bisa dilakukan paling lambat satu bulan,” sebutnya.( Elviza Diana)

Disalin dari warsi.or.id

Related Posts

Leave a Reply