Izin Tambang Karst Bertebaran, Pulau Jawa Terancam

Oleh Sapariah Saturi, November 6, 2013 2:19 am

 

Aktivitas peghancuran pegunungan Kendeng. Foto: Gerakan Rakyat Menggugat

Hasil temuan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, hingga 2013, izin tambang karst di Pulau Jawa, mencapai 76 izin. Ia tersebar di 23 kabupaten, 42 kecamatan dan 52 desa dengan total konsesi tambang karst 34.944,90 hektar. Kondisi ini bisa menjadi ancaman serius bagi lingkungan di Pulau Jawa.

Andika, Manajer Penggalangan Dukungan, mengatakan, sebaran tambang karst berada di titik penting, terutama daerah pegunungan yang menjadi cadangan air warga setempat dan resapan air paling penting bagi pertanian.

Menurut dia, perluasan tambang karst akan menimbulkan masalah konflik agraria dan ekologi. Namun, masalah ini seakan tak menjadi perhatian serius. Negara, seolah sengaja mengabaikan kepentingan masyarakat pedesaan, terutama petani atas akses sumber-sumber agraria yang terancam.

Eksploitasi karst ini, katanya, sebagian besar dipacu lewat legalisasi daerah seperti Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRWP 2009 – 2029. Lalu, Perda RTRW Kabupaten Kebumen nomor 23 tahun 2012 menyebutkan bentang alam karst Gombong memiliki luas lebih kurang 4.894 hektar dan seterusnya.

“Jatam khawatir, lingkungan Jawa yang sudah parah ini akan makin parah bila karst dieksploitasi lagi,” katanya, Selasa (5/11/13). Jadi, sudah selayaknya, dalam pemanfaaatan karst ini memperhitungkan ekologi karena menyangkut aspek keselamatan manusia. “Bukan hanya memikirkan pasar.”

Saat ini, ada beberapa rencana investasi baru seperti pembangunan investasi pabrik semen Lafarge SA, produsen semen terbesar di dunia dan PT Semen Bosowa di Jawa Timur. Ada juga PT Ultratech Minning Indonesia di Wono Giri. “Ini bisa memicu ledakan monopoli lahan dan gangguan ekologi cepat dan massif. Untuk tambang karst ini perlu ditinjau kembali sebagai bagian kebijakan pembangunan,” ucap Andika.

Satu contoh di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Ia dikenal sebagai wilayah karst (kapur). Luas kawasan karst ini sekitar 807 km persegi, atau 53% dari luas kabupaten ini 1.483 km persegi. Kekayaan akan karst ini menjadi daya tarik dari para investor untuk menambang batuan gamping di kawasan ini.

Ada beberapa perusahaan pertambangan yang beraktivitas di Gunung Kidul. Berdasarkan data inventerisasi dan verifikasi dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral (EDSM) Yogyakarta ada tujuh perusahaan menambang batu gamping dengan total luas ekploitasi 40 ribu meter persegi. Sedangkan usaha pertambangan warga ada 14 yang terverifikasi izin eksploitasi berkisar 7.000 meter pesergi.

Dalam tulisan Eko Budiyanto di website unesa.ac.id, menyebutkan, kondisi permukaan wilayah karst umumnya kering dan kritis. Namun, di bagian bawah permukaan memiliki potensi sumber air sangat berlimpah. Dia mencontohkan, sumber air Baron di karst Gunungsewu, Yogyakarta salah satu sungai bawah tanah karst. Potensi sumber air mencapai 8.000 liter per detik.

Penambangan di karst ini biasa mengambil batu gamping hingga mencapai lapisan zona vadose. Penggalian batu gamping seperti pada bukit-bukit karst akan menghilangkan zona epikart yang sangat penting sebagai lapisan penangkap air. Zona epikart yang hilang ini tentu akan mematikan imbuhan air ke dalam lorong-lorong konduit atau sungai-sungai bawah tanah.

Air tak dapat terresapkan ke dalam jaringan sungai bawah tanah itu dan akan melimpas di permukaan dan membentuk air larian dengan volume besar dan banjir. Akibatnya, sungai-sungai bawah tanah mati, mata air di kawasan karst mati, dan potensi bencana banjir saat hujan.

Penelitian yang Risyanto dkk pada 2001 meyebutkan, dampak negatif lingkungan akibat penambangan dolomit meliputi perubahan relief, ketidakstabilan lereng, kerusakan tanah, dan perubahan tata air permukaan dan bawah permukaan. Lalu, vegetasi penutup hilang, perubahan flora dan fauna, meningkatnya kadar debu dan kebisingan.

Dalam tulisan Eko menyatakan, kawasan karst bukan berarti tidak boleh dimanfaatkan. Namun haruslah dengan benar dan memperhatikan sungguh-sungguh dampak ekologis yang bakal muncul. Sumberdaya karst bisa disebut tak terbaharui karena memerlukan waktu hingga jutaan tahun untuk membentuk bentang lahan itu.

Karst merupakan kawasan unik dan sangat berbeda dengan ekosistem lain. Perubahan sekecil apapun akan berdampak pada perubahan fungsi ekosistem. Dampak langsung dan nyata akan kembali pada manusia terutama yang tinggal di kawasan dan sekitar. Sumber air bawah tanah yang mati segera dirasakan bersamaan dengan zona epikarst yang hilang. Biota goa seperti kelelawar mampu meredam hama serangga pertanian akan hilang sejalan dengan perubahan mikroklimat dalam gua.

 

 

 

Sebaran Ijin Usaha Pertambangan Batugamping di Pulau Jawa (Peta: Jatam)

Disalin dari www.mongabay.co.id

 

Related Posts

Leave a Reply