Potensi Bahaya Banjir Pada Penelusuran Gua

Informasi musibah gua Indonesia
Peta sebaran musibah gua dengan korban jiwa di Indonesia

Seiring makin populernya kegiatan wisata alam bebas, kegiatan penulusuran gua pun makin banyak digemari masyarakat umum. Selain karena wisata gua mulai banyak dipromosikan, berkembangnya teknologi peralatan penelusuran gua dan munculnya operator wisata gua, juga membuat wisata minat khusus ini menjadi lebih mudah untuk dilakukan.

Sebagaimana kegiatan alam bebas lainnya, selain keindahan alami yang dapat dinikmati, kegiatan penelusuran gua pun memiliki risiko bagi pelakunya, seperti: terpeleset/terjatuh, tenggelam, tersesat, atau terkena runtuhan dinding/atap gua.

Dari musibah kecelakaan penelusur gua di Indonesia, beberapa kejadian memakan korban jiwa. Tercatat sejak tahun 1992 sudah terjadi 8 musibah penelusuran gua dengan total 21 korban meninggal dunia. Dan penyebab utamanya adalah banjir/air dengan jumlah korban 19 orang (90.5%) dari 6 musibah.

Bahaya Banjir Pada Penelusuran Gua

Speleologi sebagai bidang yang mencakup berbagai ilmu untuk memetakan potensi gua, juga dapat berguna untuk mengetahui potensi bahaya yang dapat terjadi. Untuk mengenali potensi bahaya banjir diperlukan informasi tentang karakteristik hidrologi gua yang akan ditelusuri. Diharapkan informasi ini dapat berguna untuk mencegah kejadian dan korban berikutnya.

Untuk mengenali potensi bahaya banjir diperlukan informasi tentang karakteristik hidrologi gua yang akan ditelusuri.

img-2
sumber: https://geomorphologie.revues.org/

Gua terbentuk dan berkembang di kawasan kars dengan air sebagai media penggerus/pelarut dan menghasilkan lubang/lorong gua mengikuti struktur atau rekahan pada batugamping. C. W. Fetter dalam bukunya, Applied Hydrogeology, membagi sistem gua menjadi tiga:

  1. Gua Vadus (berada di atas muka air tanah, tidak jenuh air),
  2. Gua Permukaan air tanah (berada di muka air tanah)
  3. Gua Freatik (berada di bawah muka air tanah, jenuh air)

Gua Freatik seluruh lorongnya dipenuhi oleh air, sehingga hanya dapat disusuri dengan cara menyelam (cave diving), diperlukan kemampuan dan peralatan khusus serta resiko yang lebih besar untuk menyelam di dalam gua. Gua permukaan air tanah biasanya muncul dalam bentuk sungai bawah tanah, potensi bahaya yang terjadi adalah banjir/ permukaan air yang naik secara tiba-tiba. Bahkan tanpa banjir, gua berair seperti ini memiliki resiko tenggelam jika penelusur tidak menggunakan alat bantu yang tepat seperti pelampung/ ban.

Bagaimana dengan Gua Vadus? Berada di atas muka air tanah tidak membuat Gua Vadus aman dari bahaya banjir, bisa saja gua tersebut terletak pada sungai musiman yang kering ketika musim kemarau, kemudian akan teraliri air saat musim hujan. Kemungkinan lain, Gua Vadus berada pada zona tangkapan air hujan (catchment area), ketika air terakumulasi akan mengalir dengan debit yang sangat besar walau waktunya hanya sebentar. Proses pembentukan lorong gua menandakan air yang melaluinya, jika sistem gua masih aktif, kemungkinan air masih akan melalui tempat yang sama.

Dalam memahami fluktuasi air tanah, sebaiknya penelusur gua memiliki pemahaman dasar tentang hidrologi kars. Sifat batugamping yang berpori, sistem lorong gua di bawah permukaan tanah dan rekahan yang ada dari permukaan tanah menjadikan hidrologi kars lebih unik dan rumit dibanding hidrologi klasik. Hujan tidak harus turun tepat di lokasi mulut gua untuk menyebabkan banjir pada gua tersebut. Oleh karena itu juga diperlukan pemahaman tentang topografi di sekitar mulut gua yang akan ditelusuri. Selain banjirnya, risiko turunan yang dapat terjadi ketika banjir adalah runtuhan batuan karena erosi air, baik di atas permukaan atau di dalam gua.

Waktu Yang Rawan Untuk Potensi Banjir Di Gua

Berdasarkan data curah hujan dari BMKG, kecenderungan terjadinya musim hujan di Indonesia pada bulan November-April, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei-Oktober. Puncak curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Februari. Berdasarkan kecenderungan musim hujan tersebut, penulusur gua biasanya menghindari waktu ketika intensitas hujan sedang tinggi-tingginya, sedangkan yang sering terabaikan adalah di waktu peralihan musim. Secara statistik, semua musibah banjir yang memakan korban jiwadi Indonesia terjadi pada periode ini. Tiga kasus (50%) terjadi pada bulan Maret, dua kasus (33,3%) pada bulan April dan satu (16,7%) pada bulan Oktober.

Secara statistik, semua musibah banjir yang memakan korban jiwa di Indonesia terjadi pada periode ini. Tiga kasus (50%) terjadi pada bulan Maret, dua kasus (33,3%) pada bulan April dan satu (16,7%) pada bulan Oktober.

Pada penghujung musim di bulan Maret-April secara intensitas hujan sudah menurun namun sewaktu-waktu masih bisa terjadi hujan secara sporadis. Begitu pula di bulan Oktober ketika mendekati awal musim penghujan. Berikut data musibah banjir di gua dengan korban meninggal dunia:

NoTanggalNama GuaProvinsiJumlah Korban
14 Maret 1998Gua SritiJawa Timur2 orang
29 April 2001Gua NyaiJawa Barat7 orang
324 Oktober 2001Gua PerakJawa Timur3 orang
422 April 2004Gua GudawangJawa Barat2 orang
512 Maret 2013Gua KiskendoJawa Tengah2 orang
619 Maret 2013Luweng SerpengYogyakarta3 orang

Belajar dari kasus yang sudah terjadi, siapapun yang akan menelusuri gua wajib untuk selalu memperhatikan keadaan cuaca, data-data tersebut dapat diakses dari BMKG dan dapat dijadikan acuan untuk menentukan waktu penelusuran gua. Hujan yang terjadi beberapa hari sebelum kegiatan dilakukan mungkin akan membuat daerah disekitar gua menjadi jenuh air.

Penelusur gua dilarang keras untuk nekat memasuki gua pada musim hujan tanpa mengetahui data tentang hidrologi dan topografi gua tersebut. (Penulis: Nisa Nadia)

Leave a Reply