Fokus Liputan : Risiko Bencana PT Semen Indonesia Mengancam Warga dan Alam di Rembang (Bagian 2 Dari 2 Tulisan)

Oleh: Tommy Apriando, Yogyakarta

 

Truk pabrik semen keluar masuk melewati tenda-tenda warga. Foto : Tommy Apriando.

Dua bulan lebih Ibu-ibu dari Desa Tegaldowo dan Desa Timbrangan menduduki tapak pabrik Semen Indonesia di Desa Kadiwono, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Tidur di tenda-tenda beratap terpal plastik dan kain. Beralas terpal dan berbekal selimut. Panas di siang hari, hujan dan dinginnya angin di malam hari tidak mengendurkan semangat dan perjuangan mereka untuk terus menuntut dibatalkannya pertambangan batu gamping dan pendirian pabrik PT Semen Indonesia.

Supristianto (32) warga Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, setiap hari selalu datang ke tenda warga tersebut. yang menolak tambang semen.

Supris panggilan akrabnya, berdiskusi dengan teman-temannya sejak kabar pabrik semen akan dibangun di dekat desanya pada akhir tahun 2011. Setelah ada kepastian berdirinya PT Semen Gresik (yang sekarang bernama PT Semen Indonesia), ia mulai mencari tahu apa keuntungan dan kerugian dari hadirnya pabrik semen itu.

“Hadirnya pabrik semen tidak ada keuntungannya bagi kami. Kami lebih sejahtera menjadi petani. Bagaimana bisa petani menjadi pekerja di perusahaan. Jikapun bisa, paling hanya buruh kasar,” kata Supris.

Sedangkan Aan Hidayah melihat perjuangan ibu-ibu dan warga merupakan bentuk konkrit perlawanan dan upaya penyelamatan lingkungan, khususnya sumber mata air.

Sejak peristiwa bentrok antara warga yang menolak pendirian pabrik semen dengan aparat kepolisian dan TNI di tapak pabrik 16 Juni 2014 lalu, Aan masih terus mendampingi warga. Tidur di tenda, terkadang di rumah warga. Terkadang pulang kampung, di Pati, Jawa Tengah, lalu kembali lagi ke tenda.

“Ini bentuk solidaritas. Di Pati juga terancam akan pertambangan semen. Tuntutan warga hanya satu, batalkan pendirian pabrik semen dan pertambangan,” katanya.

Merayakan Agustusan

17 Agustus 2014 malam, sekitar 300 orang, baik anak-anak, pemuda-pemudi, muda dan tua berbaur jadi satu untuk merayakan Hari Kemerdekaan RI di tenda perjuangan. Mereka duduk di jalan masuk areal pabrik, beralas terpal plastik untuk berdoa, berteatrikal, berpuisi, dan menyanyi.

Sukinah (berkebaya orange) memekikan semangat kemerdekaan dan menolak pabrik Semen. Foto :Tommy Apriando.

Sukinah, warga Tegaldowo, malam itu mengenakan kebaya warna kuning dan kain panjang. Rambutnya dibuat sanggul dan ditusukkan “cundhuk” merah putih. Ia baru saja pulang dari kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta Pusat. Mereka berhasil mendapat dukungan dari PBNU.

Di kantor PBNU, dalam penyataan bersama Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dan PBNU menyatakan bahwa PBNU mendukung sepenuhnya aksi warga Rembang menuntut penghentian pendirian pabrik semen, atas pertimbangan besarnya daya rusak ekologis di masa depan.

Selain itu, PBNU juga menyerukan kepada pemerintah propinsi Jawa Tengah dan pemerintah Kabupaten Rembang untuk menghentikan semua kegiatan PT. Semen Indonesia di Rembang dan operasi perusahaan-perusahaan tambang lainnya di wilayah Kabupaten Rembang untuk kemudian dilakukan audit lingkungan secara menyeluruh.

“Sangat mengapresiasi perjuangan ibu-ibu. Pemerintah harusnya malu, ibu-ibu sampai turun aksi,” kata M Imam Aziz dari PBNU.

Surat Izin Gubernur dan Bupati

PT Semen Gresik (persero) mendapat surat rekomendasi dari Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo nomor 550.1/10/2012 tertanggal 30 April 2012 tentang kelayakan lingkungan hidup rencana penambangan dan pembangunan pabrik semen.

Surat rekomendasi Gubernur Jateng untuk PT Semen Gresik. Foto : Tommy Apriando

Dalam surat tersebut Bibit Waluyo memutuskan dan menetapkan bahwa rencana penambangan dan pembangunan pabrik semen PT Semen Gresik di Kabupaten Rembang layak ditinjau dari aspek lingkungan hidup.

Surat rekomendasi gubernur itu berdasar Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) yang dipergunakan sebagai acuan/pedoman pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup pada kegiatan penambangan dan pembanguan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah.

Sebelumnya, PT Semen Gresik (sekarang Semen Indonesia) mengirim surat permohonan bernomor 11012969.2/HK.05/9410/10.2011 tertanggal 4 Oktober 2011, kepada Bupati Rembang. Isinya terkait permohonan izin pembangunan pabrik semen beserta lahan tambang bahan baku dan sarana pendukung lainnya di Kabupaten Rembang.

Bupati Rembang saat itu yakni H Moch Salim membalas dengan surat bernomor 510.43/2865/2011 tertanggal 21 Oktober 2011tentang persetujuan prinsip pembangunan pabrik semen berikut lahan tambang bahan baku dan pendukung lainnya. Surat izin Bupati Rembang tersebut dikeluarkan setelah memperhatikan surat rekomendasi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) nomor 050/2857/2011 yang diberikan ke Bupati Rembang tanggal 20 Oktober 2011.

Surat rekomendasi Bupati Rembang untuk PT Semen Gresik. Foto : Tommy Apriando

Izin tersebut ditujukan kepada Ir. Suharto, MM yang menjabat Direktur Litbang dan Operasional PT Semen Gresik (Persero) Tbk. Sedangkan peruntukannya yakni pembangunan pabrik Semen Baru berikut lahan tambang bahan baku prasarana pendukung lainnya di Kecamatan Gunem dan Kecamatan Bulu dengan luas lahan 900 hektar.

“Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rembang Tahun 2011-2031, kawasan tersebut adalah kawasan pertambangan,” seperti tertulis dalam surat izin.

Seperti yang tertera pada dokumen AMDAL PT Semen Gresik (Semen Indonesia) lokasi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi di Desa Tegaldwo, Kecamatan Gunem akan peruntukkan lahan penambangan batu gamping seluas 520 hektar.

Di Desa Kajar dan Pasucen, Kecamatan Gunem akan diperuntukan penambangan tanah liat seluas 240 hektar. Desa Kajar dan Pasucen seluas 105 hektar diperuntukan pabrik dan utilitas. Desa Kadiwono, Kecamatan Bulu diperuntukan lokasi jalan produksi seluas 15 hektar dan Desa Tegaldowo, Kajar dan Timbrangan, Kecamatan Gunem diperuntukan jalan tambang seluas 10 hektar.

Ming Lukiarti dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang menanggapi izin yang dikeluarkan oleh Gubernur Jateng dan Bupati Rembang merupakan hal yang bertentangan dengan Perda Kabupaten Rembang No.14/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Rembang tahun 2011-2031.

Dokumen AMDAL perusahaan juga banyak tidak sesuai dengan situasi fakta di lapangan, mulai dari kontradiksi lokasi pertambangan di kawasan konservasi / lindung yakni di CAT Watu Putih dan kawasan Karst yang seharusnya tidak boleh ditambang.

“Aneh jika dalam RTRW Kab Rembang sendiri menyebutkan kawasan CAT (cekungan air tanah) Watuputih di Kecamatan Gunem sebagai kawasan lindung geologi. Namun diperbolehkan untuk pertambangan,” katanya.

Dalam dokumen RTRW Kab Rembang pasal 15 ayat 1 dan 2 disebutkan Kecamatan Lasem, Bulu, Sale, Sluke, Kragan, Sedan, Pancur dan Gumen merupakan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya yakni berupa kawasan resapan air seluas 11.314 hektar.

“Pasal 19 pada RTRW Rembang jelas tertuliskan bahwa kawasan lindung geologi berupa kawasan imbuhan air meliputi Cekungan Watuputih dan Cekungan Lasem,” kata Ming.

Dalam dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang diterima Mongabay, pada pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa rencana kawasan pengembangan kawasan lindung seluas kurang lebih 29.212 hektar yang meliputi, mempertahankan kawasan hutan lindung, mempertahankan fungsi kawasan lindung non hutan, merehabilitasi kawasan lindung berupa penanaman mangrove di kawasan pesisir dan mengembangkan ekowisata.

Adapun dalam pasal 13 ayat (2) huruf (f) menyebutkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu kawasan lindung geologi.

“Tidak disebutkan bahwa rencana kawasan pengembangan kawasan lindung untuk dilakukan penambangan. Dan sudah jelas bahwa kawasan CAT Watuputih itu kawasan lindung geologi,” kata Ming.

Tak pernah tahu wujud AMDAL

Joko Prianto, warga Desa Tegaldowo mulai ikut aksi menolak pembangunan pabrik semen pada pertengahan April 2012 lalu, setelah mendapatkan informasi tentang dampak negatif terhadap adanya pabrik semen. Mulai dari hilangnya sumber mata air, gua, krisis air, polusi udara, bahkan hilangnya pekerjaan warga sebagai petani dan peternak.

“Jika kami kehilangan sumber mata air, bagaimana dengan lahan pertanian kami, ternak kami, bahkan untuk kebutuhan sehari-hari kami,” ujar Joko Prianto yang akrab dipanggil Prin.

Ia bercerita berbagai upaya warga menolak pendirian pabrik semen, seperti berkirim surat ke Pemkab Rembang dan Gubernur Jateng. Namun tidak ada respon. Warga juga tidak tahu tentang penyusunan dokumen AMDAL.

“Kami tidak pernah diberi tahu bahwa ada penyusunan AMDAL. Kami tidak pernah diundang. Kami tidak dilibatkan. Yang diundang hanya warga yang mendukung pembangunan pabrik semen,” kata Prin.

Dia merasa seharusnya warga yang mendukugn maupun menolak dilibatkan dalam penyusunan AMDAL. Baik mendukung maupun menolak, pendapat mereka harus didengarkan dan dijadikan pertimbangan.

“Lah kok Pak Ganjar (Gubernur Jateng Ganjar Pranowo) tanya ke kami, apakah sudah membaca dokumen AMDAL? Dilibatkan saja tidak, diberi tahu saja tidak. Kok kami di tanya dan di minta membaca AMDAL,” ujar Prin.

Selain Prin, Supris juga pernah mencoba datang pada sosialisasi pembangunan pabrik semen yang diselenggarakan oleh pemerintah desa Tegaldowo dan pihak pabrik semen. Ia tidak diundang dalam pertemuan itu. Ia ingin tahu dan menyampaikan beberapa pertanyaan. Namun, ia merasa pertemuan sudah di-setting sehingga tidak diberikan kesempatan bertanya. Menurutnya, hanya pihak warga pro pembangunan pabrik semen saja yang diberikan kesempatan.

Muhnur Satyahaprabu dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional mengatakan, partisipasi warga dalam penyusunan AMDAL adalah syarat mutlak yang tidak boleh diabaikan. Jika warga tidak pernah sama sekali dilibatkan berarti syarat mutlak itu diabaikan.

“Selain tidak pertisipatif, dokumen AMDAL juga tidak mempertimbangan lahan pertanian yang merupakan bagian dari investasi besar para warga. Peralihan petani menjadi buruh itu tidak bisa dihitung dengan apapun,” kata Muhnur.

Sumber Air CAT Watuputih

Dalam presentasi Eko Teguh Paripurno, pengajar Teknik Geologi di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta di Semarang pada 7 Juli 2014 lalu menyampaikan ada 49 Goa, 4 sungai bawah tanah, 109 mata air di sekitar CAT Watuputih sebagai mata air parenial yang mengalir di sepanjang musim.

Adapun zona jenuh air berada di sekitar sumber semen dan brubulan, yang berada di ketinggian 150 mdpl (meter di atas permukaan laut) dan zona peralihan pada ketinggian lebih kurang 190 mdpl. Sebaran mata air berada pada zona ketinggian 100-350 mdpl tersebar di area CAT Watuputih dan di wilayah yang berada di sebelah barat daya, utara dan selatan pegunungan Watuputih.

Salah satu aliran air Mata air di Desa Timbrangan. Digunakan untuk keperluan mandi, mencuci dan memasak warga. Foto :Tommy Apriando.

CAT Watuputih yang merupakan area imbuhan air sebesar 2.555,096 Ha. Untuk mata air terbesar Sumber Seribu dengan debit 600 liter/detik di Desa Tahunan di bagian timur CAT Watuputih dan terkecil mata air Belikwatu debitnya 0,02 liter/detik.

Di Desa Timbrangan dibagian barat CAT Watuputih denit terkecil menghasilkan 1728 liter/hari dan debit terbesar menghasilkan 51.840.000 liter/hari.”

Data PDAM tahun 2013, sumber semen merupakan sumber utama untuk pemenuhan kebutuhan air masyarakat 607.188 jiwa di 14 kecamatan, Kabupaten Rembang.

Eko Teguh mengatakan CAT Watuputih merupakan bukit batu gamping yang menjadi resevoir air tanah. Proses kartifikasi sedang terjadi, sehingga banyak dijumpai mata air di kaki bukit gamping itu dan terdapat gua serta sungai bawah tanah di di dalam bukit itu.

“Saya merasa kawasan CAT Watuputih sangat berisiko bila di tambang. Penambangan akan menghabiskan zona kering tubuh batu gamping tersebut, mendekati ke zona peralihan dan zona basah. Penghilangan zona kering menjadikan volume air yang meresap akan berkurang dan tentu bisa berdampak pada krisis air,” kata Eko Teguh kepada Mongabay.

Selain itu, dia juga menduga dokumen AMDAL proyek pembangunan pabrik semen ada yang disembunyikan. Terutama terkait kejujuran data. Salah satunya di dokumen AMDAL menyebutkan goa-goa tidak berair pada kedalam 100 meter, sehingga air sulit dijangkau.

“Goa basah dianggap kering. Goa berair dikatakan dalam, padahal dangkal. Itu perkara kejujuran data,” katanya.

“Di Desa Tegaldowo mayoritas warga mengebor air di kedalaman 10-15 meter. Di Desa Tegaldowo masih ada yang mengebor, namun banyak juga yang menggunakan sumur,” kata Joko Prianto.

Surat Kepala Badan Geologi untuk Gubernur Jateng

Kepala Badan Geologi, Dr. Surono mengirimkan surat nomor 3131/05/BGL/2014 tertanggal 1 Juli 2014 kepada Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, tentang tanggapan rencana penambangan Batugamping di Wilayah Kabupaten Rembang .

Isi surat tersebut memaparkan bahwa berdasarkan tugas pokok dan fungsi Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menanggapi permasalahan dan keresahan yang timbul di masyarakat terkait dengan rencana penambangan Batugamping untuk bahan baku pabrik semen.

Surat Kepala Badan Geologi yang merekemondasikan pelarangan penambanan di CAT Watuputih. Foto : Tommy Apriando

Bahwa berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 26 tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah Indonesia, menyatakan bahwa Batugamping tersebut ditetapkan sebagai Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih.

Pada butir kedua, berdasarkan pasal 40 ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2008 tentang Air Tanah mengamanatkan untuk menjaga daya dukung dan fungsi daerah imbuhan air tanah yang dilakukan dengan cara mempertahankan imbuhan air tanah dan melarang melakukan kegiatan pengeboran, penggalian atau kegiatan lain dalam radius 200 meter dari lokasi kemunculan mata air.

Sedangkan Pasal 40 ayat 2 mengamanatkan untuk menjaga daya dukung akuifer dilakukan dengan mengendalikan kegiatan yang dapat mengganggu sistem akuifer. Adapun penjelasan kegiatan yang mengganggu yakni antara lain pembuatan terowongan atau penambangan batuan.

Dan dalam butir terakhir dipaparkan bahwa untuk menjaga kelestarian akuifer CAT Watuputih maka agar tidak ada kegiatan penambangan di Batugamping tersebut.

“Kawasan CAT Watuputih sebagian besar merupakan daerah imbuhan air tanah dan secara aturan juga dilindungi,” kata Dr. Surono yang dikutip dari media massa pada 7 Juli 2014.

Sedangkan PBNU bahkan menilai bahwa dalam banyak kasus korporasi mengklaim diri telah berkonsultasi dengan rakyat setempat melalui penyusunan dokumen usaha seperti AMDAL.

Namun kenyataannya bentuk partisipasi warga yang dimaksud adalah mobilisasi sekelompok orang demi memenuhi tertib prosedural AMDAL, tanpa menyentuh substansi masalah orientasi pembangunan yang melibatkan rakyat. Sistem ekonomi kapitalisme memang membuka keran partisipasi, tapi faktanya itu tak lebih untuk kelanggengan ekspansi kapital itu sendiri. Partisipasi hanya pelengkap, bukan inti dari bagaimana sebuah arah pembangunan/kebijakan yang berhubungan dengan orang banyak diputuskan.

“Kami Mendorong pemerintahan nasional untuk menginisiasi pengadilan lingkungan dengan salah satu tugas utamanya melakukan eksaminasi terhadap dokumen AMDAL.”

“Hal ini untuk mengantisipasi pendangkalan makna partisipasi dalam penyusunan dokumen AMDAL, dimana selama ini partisipasi dirasa telah berubah menjadi mobilisasi, prosedural, dan meminggirkan kualitas dan substansi partisipasi itu sendiri,” kata M Imam Aziz.

AMDAL Untuk Pembangunan Berkelanjutan

Narasumber dalam penyusunan AMDAL pabrik Semen, ahli konservasi lingkungan dari Univesitas Gajah Mada, Prof. Dr. Ir. H. Chafid Fandeli kepada Mongabay mengatakan, salah satu tujuan dari adanya AMDAL yakni agar pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan sendiri punya empat kriteria, yakni lingkungan yang bersahabat, perberdayaan masyarakat lokal, ekonomi masyarakat lokal yang harus terus berkembang dan budaya lokal yang tidak boleh dimarjinalkan, namun harus diperkuat.

“Di Indonesia sejak tahun 1990-an berusaha untuk membawa kegiatan pembangunan termasuk AMDAL itu tidak hanya mempertimbangkan environtmental friendly saja. Tapi juga ada persoalan budaya lokal, ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat,” kata Prof Chafid.

Dalam penyusunannya, AMDAL mengatur pelibatan masyarakat dengan sosialisasi dan publik konsultasi. Syarat konsultasi publik yaitu adanya tokoh formal dan informal, serta LSM.

Warga mulai dari RT, RW dan dusun, terutama warga dimana proyek berada, harus dilibatkan, sehingga mengetahui apa dan bagaimana dampak proyek tersebut. “Baik yang mendukung dan menolak harus ikut dan harus ada dalam penyusunan AMDAL,” katanya.

Salah satu aliran air Mata air di Desa Timbrangan. Digunakan untuk keperluan mandi, mencuci dan memasak warga. Foto :Tommy Apriando.

Warga yang menolak pembangunan pabrik semen bisa mengikuti proses AMDAL, antara lain dengan melihat pengumuman di media massa, saat sosialisasi dan publik konsultasi. Saat penilaian AMDAL oleh tim gubernur, warga juga bisa terlibat untuk menolak. Dengan proses tersebut, dia melihat keterlibatan warga tidak boleh terlewat.

“Konsep dalam penyelesaian konflik warga yang menolak dan setuju pembangunan itu adalah win-win solution, bukan menang atau kalah,” ujar Prof. Chafid.

Mengenai AMDAL PT Semen Indonesia yang melanggar RTRW Kabupaten Rembang, ia berpendapat jika AMDAL berjalan terus sampai final berarti tidak bertentang dengan Tata ruang.

“Jika bertentangan maka tidak boleh dilanjutkan. Tata ruang itu menjadi penentu, tidak boleh dilanjutkan jika AMDAL itu bertentang dengan aturan tata ruang,” katanya.

Mengenai Surat Kepala Badan Geologi, Prof. Chafid berpendapat persoalan Cekungan Air tanah (CAT) bukan permasalahan tata ruang. “Pak Surono akhirnya sekarang juga diam. Karena sebenarnya di Indonesia ini ada ribuan CAT dan yang masih aktif ada berkisar 450 CAT, yang sebagian besar di wilayah CAT itu di atasnya adalah pertambangan,” katanya.

“Jadi jika ada konsep bahwa yang ada di atas CAT tidak boleh ada pemanfaatan sumber daya alam. Maka Keppres ini akan menghapus semua izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan yang jumlahnya ribuan di Indonesia,” lanjutnya.

Prof. Chafid melihat kawasan CAT bisa ditambang pada daerah yang tidak membahayakan, bila air berada pada kedalaman 100 meter atau lebih, yang bisa dideteksi melalui pengeboran.

Dia melihat AMDAL PT Semen Indonesia di Rembang sudah memenuhi kaidah ilmiah, regulatif dan teknis sudah terpenuhi. “Saya selaku yang mengawal penyusunan AMDAL PT Semen Indonesia. Sepengetahuan dan sepengalaman saya mengikuti prosesnya, saya menilai AMDAL sudah baik,” ujar Prof Chafid.

Sedangkan Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia, Agung Wiharto kepada Mongabay mengatakan pada pertemuan bersama Gubernur Jateng pada 7 Juli 2014 sudah sudah jelas tentang AMDAL. Gubernur sudah ada inisiatif agar semua pihak bisa melihat dan mendengar terkait penjelasan dari pihak perusahaan, akademisi dan warga yang menolak hadirnya pabik semen dan instansi lainnya.

“Kesimpulan pertemuan kemarin jika semua CAT tidak boleh ditambang, berarti semua perusahaan tambang di kawasan yang saat ini sudah beroperasi harus diberhentikan. CAT boleh ditambang asalkan bisa dikendalikan,” kata Agung.

Dia membantah pihaknya tidak melibatkan warga dalam dalam penyusunan AMDAL. Penyusunan AMDAL telah melalui 35 ijindan dan 12 persyaratan, termasuk syarat melibatkan masyarakat.

“Sosialisasi sudah kami lakukan ke masyarakat. Kami juga melibatkan mereka. Memang tidak semua atau tidak 100 persen terlibat. Kami mengundang mereka semua. Namun, ketika sosialisasi dilaksanakan ada beberapa warga yang tidak hadir karena berhalangan. Ada yang bertani atau kegiatan lainnya sehingga tidak hadir ketika sosialisasi dan konsultasi dilakukan,” katanya. Agung mengjak semua pihak untuk membangun Rembang demi kemanfaatan bersama.

Pertambangan Ramah Lingkungan di Industri Semen.

Agung Wiharto menjelaskan PT Semen Indonesia yang pembangunan pabrik dan pertambangannya di Rembang diresmikan pada 16 Juni 2014, berkomitmen mewujudkan industri semen ramah lingkungan dengan desain tambang dan peralatan yang digunakan.

Di lokasi industri akan ada peralatan yang tercanggih, antara lain dush collector atau penangkap debu yang di desain menangkap debu 30 mili/meter kubik.

Untuk mengendalikan emisi, setiap pabrik telah dilengkapi alat khusus pengendali debu seperti electrostatic precipitator (EP), cyclone, conditioning tower, bag house fileter dan peralatan lainnya. Selain itu pada setiap titik transport proses produksi dipasang peralatan penangkap debu yang kemudian diproses kembali sebagai material produksi.

Agung menjelaskan meski investasinya mahal, mereka telah berkomitmen untuk berkonsep industri hijau, dengan meningkatkan konsumsi energi alternatif dari limbah pertanian, menekan konsumsi air dan listrik, kontrol emisi yang ketat, dan tetap melestarikan keanekaragaman hayati.

“Kami akan membuat ruang terbuka hijau di 30 persen areal pabrik. Kami berharap kawasan tanah akan semakin baik dan terjaga,” kata Agung.

Seperti dalam siaran pers dari pihak perusahaan tanggal 5 Mei 2014 lalu, investasi untuk membangun pabrik di Rembang mencapai Rp 3,717 triliun atau setara US$

134,20 per ton semen. Angka itu berada dalam kisaran nilai investasi per ton untuk transaksi sejenis, yaitu antara US$116,17 sampai US$264,71 per ton.

Resiko Bencana dari Pertambangan.

Eko Teguh Paripurno menanggapi bahwa menambang ramah lingkungan bukan cuma persoalan caranya, akan tapi juga perlu dipertimbangan tempat/lokasi pertambangan, waktu, dan jumlah yang ditambang. “Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi. Ya tidak bisa dikatakan ramah lingkungan,” kata ET Paripurno.

Eko Teguh yang aktif di Pusat Studi Manajemen Bencana, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta menjelaskan penambangan mengurangi jumlah simpanan aliran diffuse dan meningkatkan aliran conduit. Bertambahnya persentase aliran conduit saat musim hujan akan mengakibatkan banjir dan berkurangnya persentase aliran diffuse saat musim kemarau.

“Resiko bencana akibat pertambangan, seperti banjir. Mungkin tidak terjadi longsor. Namun abu akan menurunkan hasil panen dan harga jual tembakau dan buah-buahan,” katanya.

Daerah hilir Kali Bengawan Solo berada pada CAT Watuputih dengan luasan 2122 hektar juga terdampak penambangan. Penambangan seluas 491.5 hektar berkontribusi pada kerentanan Kali Mrayun, Kali Kowang, Kali Kening, dan akan bermuara di Kali Bengawan Solo di daerah Bojonegoro.

Daerah tangkapan Kali Lusi tapak pabrik dengan luas 349.91 hektar, selanjutnya berkontribusi pada kerentanan Kali Sadang, Kali Kedawung, Kali Ngampel, dan masuk ke Kali lusi yang akan mengalir melewati Grobogan, Purwodadi. Selain itu, daerah tangkapan Kali Tuyuhan berada pada CAT Watuputih dengan luas 319 ketar, terdampak kegiatan penambangan seluas 69.01 hektar. Daerah tangkapan ini berkontribusi pada kerentanan Kali Sambung Dawong, Kali Grubugan, Kali Kroyo, dan Kali Tuyuhan yang bermuara di Laut Jawa di daerah Lasem.

“Kemampuan kita untuk mengidentifikasi, memahami, dan mengambil tindakan dalam menangani risiko bencana, dapat merubah tingkat risiko pola pemanfaatan ruang yang baik merupakan modal awal untuk usaha-usaha pengurangan risiko bencana,” kata Paripurno.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng menyebutkan pada 35 kabupaten/kota Jaten, lahan pertanian mengalami penyusutan mencapai 6,484 hektar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Belum termasuk lahan pertanian yang hilang akibat bencana lingkungan seperti rob dan abrasi pantai dipekaloangan lahan pertanian beralih fungsi menjadi tambak sekitar seluas 1.800 hektar dan di Demak seluas 2000 hektar.

Sedangkan Muhnur Satyahaprabu mengatakan Jateng saat ini dalam kondisi darurat ekologi. Alih fungsi lahan di Jawa Tengah dalam sepuluh tahun terakhir tergolong tingg, yang mengancam petani terancam kehilangan pekerjaan dan terjadi kerusakan lingkungan.

Data Dinas Pertanian dam Tanaman Pangan Jawa Tengah disebutkan bahwa cepatnya alih fungsi lahan menjadi problem meluas bagi kelangsungan hasil produksi pangan di Jawa Tengah. 300 – 400 hektar/tahun, lahan pertanian produktif beralih fungsi menjadi wilayah industri, perkantoran, kawasan bisnis, perumahan dan lainya.

Pengamatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, setidaknya ada lahan lebih dari 2.240 hektar yang sudah di tambang (termasuk eksplorasi) dan ada ancaman 7.467 hektar lahan akan dijadikan lahan pertambangan. Selain itu belum ada kebijakan Pemprov Jateng mengenai standar pengelolaan lingkungan hidup menjadi masalah bagi kepala daerah dalam menyusun roadmap perlindungan lingkungan.

Menggugat Gubernur Jawa Tengah dan PT Semen Indonesia.

WALHI, LBH Semarang bersama warga yang menolak pembangunan pabrik semen akan mengugat Gubernur Jateng dan PT Semen Indonesia, dengan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang pada awal September 2014.

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mempersilahkan warga menggugat, karena proses pembangunan pabrik telah dimulai setelah semua syarat administrasi dan izin sudah selesai. “Jika warga keberatan maka silahkan melakukan gugatan ke PTUN saja,” kata Ganjar Pranowo, 19 Juni 2014 lalu.

Sedangkan PT Semen Indonesia mempersilahkan warga mengajukan gugatan. Mereka berjanji akan mematuhi putusan pengadilan. “Tapi jika pengadilan memutuskan kami yang menang. Kami harap warga yang menggugat bisa menghormati hasil keputusan pengadilan,” kata Agung.

Agung berharap hakim memahami persoalan lingkungan dan dampak kerusakan lingkungan akibat pertambangan, jujur dalam membuat keputusan.

Sementara Muhnur melihat Pemprov Jateng dan Pemkab Rembang tidak mempertimbangkan keberadaan warga setempat dengan penghidupan pertanian yang telah mapan dan menolak keberadaan pabrik semen.

Pada akhirnya, warga berharap perjuangan mereka selama ini membuahkan hasil. “Kami berdoa dan percaya keadilan akan berpihak pada perjuangan kami,” kata Prin.

“Mohon dukung dan doakan perjuangan kami untuk menyelamatkan kelestarian alam dari perusak lingkungan,” ujar Sukinah.

Disalin dari laman Mongabay.co.id

Related Posts

Leave a Reply